Jumat, 18 Juli 2008

Penyimpangan PSDH-DR,

Perlawanan Hukum yang Merugikan Keuangan Negara

Pernyataan Kajati Kalbar beberapa waktu lalu tentang upayanya yang sedang mendalami kasus penyimpangan dana PSDH-DR di kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, merupakan langkah maju guna menindak praktek penyimpangan dana PSDH-DR yang dilakukan oleh beberapa Pemerintah Daerah di Kalbar. Sampai hari ini baru satu kasus proses hukumnya jelas seiring telah ditetapkannya mantan Bupati Kabupaten Pontianak Cornelis Kimha sebagai tersangka, sementara praktek serupa terjadi paling tidak di lima kabupaten (Kab. Pontianak, Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, Ketapang). Pertanyaannya kemudian, kenapa praktek penyimpangan tersebut terjadi marak, bagaimana modus operandinya, serta aturan-aturan apa yang dilanggar ?

Maraknya praktek penyimpangan dana PSDH-DR di Kalbar berawal dari dicabutnya SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dengan SK Menhut 084/Kpts-II/2000 tanggal 13 April 2000. SK Menhut 310/Kpts-II/1999 yang dikeluarkan tanggal 7 Mei 1999 sebelumnya mengatur tentang Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam bentuk HPH 100 Ha kepada masyarakat. Berdasarkan SK Menhut tersebut, beberapa Kabupaten mengeluarkan SK Bupati untuk memberikan Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (IHPHH), dan sejak itu banyak IHPHH dikeluarkan oleh Bupati kepada kelompok-kelompok/koperasi masyarakat. Kebijakan Bupati ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para cukong dan pengusaha besar kehutanan yang menampung hasil kayu masyarakat dengan meminjamkan alat-lat berat (Excavator, Dozer, Loder) sehingga HPH 100 Ha yang harusnya diusahakan selama satu tahun tapi habis dalam waktu satu-dua bulan saja. Hal inilah yang mengakibatkan semakin lajunya kerusakan hutan (deforestasy) yang akhirnya mengancam eksistensi sumber daya alam. Berangkat dari fakta lapangan itulah kemudian SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dicabut pada tanggal 13 April 2000 dengan dikeluarkannya SK Menhut 084/Kpts-II/2000. Dengan dicabutnya SK Menhut tersebut, maka otomatis SK Bupati yang mengacu pada SK Menhut yang telah dicabut itu juga gugur dengan sendirinya. Akan tetapi faktanya dibeberapa kabupaten masih saja menerbitkan IHPHH dengan SK Bupati yang sebenarnya cacat hukum. Sejak saat itulah iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang harus dibayar perusahaan/kelompok tani/koperasi pemegang IHPHH kepada Kas Negara, diselewengkan dengan tidak menyetor ke Rekening Menhut, tapi disetor ke Rekening Pemda. Padahal hal itu jelas-jelas melanggar Keppres No 29 Tahun 1990 tentang DR dan Keppres No 30 Tahun 1990 tentang PSDH, serta PP No 51 Tahun 1998.

Kasus Sintang
SK Bupati Sintang Nomor 19 tahun 1999 tanggal 23 Desember 1999 tentang pemberian Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (IHPHH) yang mengacu pada SK Menhut 310/Kpts-II/1999 secara yuridis tidak dapat dipergunakan karena SK Menhut tersebut telah dicabut sejak tanggal 13 April 2000 dengan terbitnya SK Menhut 084/Kpts-II/2000. Akan tetapi faktanya berdasarkan SK Bupati tersebut, Pemda Sintang sejak tahun 2001 sampai Oktober 2002 masih saja mengeluarkan IHPHH sebanyak 409 Izin, dengan rincian tahun 2001 sebanyak 294 Izin dan tahun 2002 sebanyak 115 Izin yang diterbitkan. Oleh karena itu, seiring dengan IHPHH yang diterbitkan maka melekat kewajiban untuk menyetor iuran PSDH-DR kepada kas negara sebagaimana ketentuan Keppres No 29 tahun 1990 dan Keppres No 30 tahun 1990, serta PP No 51 Tahun 1998. Tercatat dari tahun 2001 sampai Oktober 2002 dana iuran PSDH yang disimpan dalam Rekening Giro Pemda Sintang nomor P.005 pada Bank BNI Cabang Sintang sebesar Rp. 28.565.278.965,00 sedangkan DR yang disimpan dalam Rekening Pemda nomor 023.050008090.001 sebesar Rp. 49.877.836.756,00.

Berdasarkan pengakuan tertulis Bupati Sintang Drs. Elyakim Simon Djalil,MM tanggal 25 November 2002, diketahui bahwa seluruh dana PSDH sebesar 28.565.278.965,00 atas persetujuan DPRD telah digunakan seluruhnya oleh Pemda Sintang melalui APBD. Padahal dari total dana PSDH tersebut, hak pemerintah pusat sebesar 20%, Provinsi 16%, serta Kabupaten lain 32% sebagaimana ketentuan PP 104 2000 tentang Dana Perimbangan. Sedangkan DR masih tersimpan didalam rekening Pemda sebesar Rp. 43.393.149.551,00 dengan asumsi sebesar Rp.6.484.687.205,00 telah digunakan oleh Pemda Sintang untuk membayar tunjangan guru. Disini letak kesalahan mendasar Pemda Sintang karena memasukkan dana PSDH-DR tersebut dalam APBD yang melanggar beberapa aturan perundang-undangan. Padahal pasal 43 huruf d UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa setiap Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati/Walikota berkewajiban menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
Tindakan Pemda Sintang tersebut jelas bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya :
1.UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak terutama pasal 4
2.PP No 51/1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan terutama pasal (2) dan (4)
pasal 2;
pasal 4;
3. UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terutama pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (5)
ayat 1;
ayat 5;
4. PP 104/2000 tentang Dana Perimbangan terutama pasal 8 dan 9 ayat (1) huruf b;
pasal 8;
pasal 9;
Atas tindakan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan tersebut, negara berpotensi dirugikan sebesar Rp 19.424.389.696 dengan rincian sebagai berikut:
1.Pemerintah pusat (20%) : Rp 5.713.055.793
2.Pemerintah Provinsi Kalbar (16%): Rp 4.570.444.634
3.Pemerintah Kabupaten lain (32%): Rp 9.140.889.269
Total Kerugian Negara Rp 19.424.389.696

Oleh karena itu, Pemda Sintang (Bupati, Kadishut, serta Ketua DPRD) dapat dijerat dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama pasal 2 ayat (1) dan pasal 3.
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 3;
Selain itu, Pemda Sintang (Bupati, Kadishut, serta Ketua DPRD) juga dapat dikenakan Tindak Pidana Umum sesuai dengan pasal 372 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.


Pontianak, 23 Des 2004


Hermawansyah
Koord. POKJA Antikorupsi Kalbar

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial