Jumat, 18 Juli 2008

Pernyataan Pers KONTAK Rakyat Borneo Tentang Sebelum Dan Menjelang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007

Latar Belakang

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberian otonomi luas kepada daerah[1] diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pada era otonomi daerah, masing-masing daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun program otonomi daerah yang desain awalnya dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, ternyata dalam prakteknya jauh dari harapan banyak orang. Justru yang lebih mengemuka adalah terjadi perpindahan korupsi dari sentralisasi korupsi menjadi desentralisasi korupsi. Muncul raja-raja kecil ditingkat lokal sebagai imbas dari adanya otonomi daerah yang kebablasan.

Pasca otonomi daerah ada tiga isu utama penyimpangan kekuasaan yang hampir seragam di berbagai daerah, yaitu politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala daerah, pengesahan APBD yang tidak pro rakyat dan penerbitan peraturan-peraturan daerah untuk menarik pungutan dari rakyat di luar pajak untuk menggemukkan pendapatan asli daerah (PAD). Tidak ada pemilihan kepala daerah yang tidak ricuh, dan senantiasa menuai demonstrasi dari sebagian masyarakat yang tidak puas. Sejumlah masyarakat di daerah yang kecewa karena APBD dijadikan sasaran empuk korupsi sistematis kolaborasi anggota DPRD dan pejabat teras Pemda.[2]

Namun tidak semua korupsi yang dilakukan oleh elit politik (korupsi politik) berkaitan dengan kepentingan suatu fraksi politik atau birokrasi parpol. Freelance corruption yang melibatkan anggota dewan secara perorangan dan karenanya bersifat lintas partai, justru sangat menonjol di DPRD. Contoh yang paling ekstrim adalah dalam kasus pemilihan kepala daerah. Umumnya calon kepala daerah yang diusulkan oleh fraksi atau dua fraksi partai mayoritas di DPRD yang di atas kertas pasti menang, justru sebaliknya kalah. Kita tahu dalam tradisi perpolitikan nasional tidak ada independensi anggota dewan, selain suara fraksi.

Di sisi lain, dibukanya kran kebebasan politik dan realitas persaingan politik pada era demokrasi multipartai menyeret parpol lebih memprioritaskan pembangunan postur partainya ketimbang kualitas dan integritas. Dan parta-partai baru umumnya mengalami kekurangan sumber daya manusia untuk mengisi pengurus partai sesuai dengan pengaturan resmi Pemilu dan Parpol. Akibatnya banyak parpol baru asal comot dalam merekrut pengurus partai atau calon anggota dewan.

Robert Klitgaard, seorang pakar di bidang kajian korupsi memberikan rumus sederhana untuk mendefinisikan korupsi. Menurutnya korupsi terjadi karena adanya kekuasaan monopoli atas sumber daya yang sifatnya ekonomis disertai kewenangan untuk mengelolanya tanpa disertai pertanggungjawaban.[3] Dengan kata lain, ketiga unsur diatas merupakan satu kesatuan yang akan selalu menyimpan potensi atau peluang besar untuk terjadinya korupsi.

Konsepsi desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.[4]

Menurut TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.

Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi bahwa adanya lembaga kontrol seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.
Habis Gelap Terbitlah Pekat
Praktek korupsi setelah otonomi daerah yang kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor menggambarkan ironi desentralisasi sebagaimana telah digambarkan diatas. Dari catatan Komite Antikorupsi (KONTAK) Rakyat Borneo mulai Agustus 2004 sampai November 2006, terdapat 55 kasus korupsi di berbagai daerah di Kalbar dengan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar praktek korupsi yang terjadi pada era desentralisasi justru dilakukan oleh pimpinan dan anggota DPRD yang notabene secara fungsional merupakan lembaga kontrol yang seharusnya merepresentasikan kehendak publik. Maraknya korupsi di legislatif daerah juga menimbulkan istilah “korupsi berjamaah” merupakan sebuah term yang diartikan sebagai praktek korupsi yang melibatkan banyak anggota DPRD mengingat korupsi yang dilakukan merupakan buah kesepakatan banyak pihak. Setidaknya sudah ada 10 kasus korupsi DPRD yang diberitakan oleh media massa di Kalbar selama kurun waktu Agustus 2004 – November 2006.[5] Total perkiraan kerugian negara yang ditimbulkan dari 10 kasus tersebut adalah Rp 100,6 miliar.

Dari 10 kasus korupsi DPRD yang terungkap itu, paling tidak sebanyak 102 orang anggota DPRD diseluruh Kalbar telah diproses secara hukum, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan hingga yang telah diputus oleh pengadilan. Jumlah ini sangat mungkin akan bertambah karena masih banyak anggota dewan yang belum diperiksa dan masih ada kasus korupsi tersebut yang belum terungkap ditahun 2006. Melihat jumlah anggota DPRD yang diperiksa karena dugaan kasus korupsi sedemikian besarnya bisa jadi anggota DPRD merupakan pelaku korupsi yang paling banyak (korupsi masal atau berjamaah). Hal ini dipertegas dengan hasil survei Transparancy International Chapter Indonesia pada bulan Desember ini, tentang persepsi masyarakat terhadap lembaga korup di Indonesia, hasil survei menunjuk lembaga legislatif baik di tingkat nasional ataupun daerah sebagai lembaga paling korup di Indonesia.

Secara umum terdapat empat modus korupsi DPRD yang dapat kita temui di hampir semua kasus di Kalbar. Modus pertama adalah dengan menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan sebagai praktek mark-up karena Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD sebenarnya telah mengatur pelaksanaan penganggaran dewan, ini seperti yang terjadi pada item tunjangan perumahan DPRD Provinsi pada APBD Tahun Anggaran 2005 yang di mark up senilai Rp 2,2 miliar dari batas yang diatur dalam peraturan gubernur kalbar.

Modus kedua adalah menggandakan (redundant) item penerimaan anggota dewan melalui berbagai strategi. Strategi yang paling kerap muncul adalah dengan memasukkan item anggaran yang berbeda-beda untuk satu fungsi. Misalnya terdapat pos asuransi untuk kesehatan, tetapi di pos lain muncul item tunjangan kesehatan. Padahal kedua pos penerimaan tersebut adalah untuk satu fungsi, yakni anggaran bagi kesehatan anggota dewan. Strategi lain adalah dengan menitipkan pos penerimaan itu pada anggaran eksekutif (Pemda). Hal ini terjadi pada kasus DPRD Kab Pontianak dengan menitipkan dana untuk Yayasan Bestari pada pos bantuan Sekretariat Daerah.

Modus ketiga dengan cara mengada-adakan pos penerimaan anggaran (membuat pos baru) yang sebenarnya tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh DPRD Provinsi pada APBD Tahun Anggaran 2005 dengan mengadakan item Representasi Perjalanan Dinas sebesar Rp 677 juta.

Modus keempat adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Hal ini terlihat dalam korupsi dana otda di 4 kabupaten/kota di Kalbar.
Diantara keempat modus korupsi tersebut, modus keempat bisa dianggap yang paling konvensional dan umum terjadi di berbagai instansi pemerintah. Dalam pengertian bahwa tindakan korupsi dengan cara memanipulasi dokumen pertanggungjawaban penggunaan APBD hingga seolah-olah sebuah program telah dilaksanakan merupakan perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum, merugikan keuangan negara dan terdapat upaya untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, modus korupsi anggota dewan yang pertama hingga ketiga merupakan produk kesepakatan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan dua hal, yakni kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang tindih.

Korupsi model ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam sebuah Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang legal. Padahal dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepatutan atau kelaziman. Oleh karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan didasari atas kesepakatan dua pihak pengelola daerah, korupsi yang telah menyeret beratus-ratus anggota dewan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak eksekutif , mulai dari tingkat Nasional sampai Daerah.

Yang paling terkini tentang payung hukum keuangan DPRD itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dikeluarkan pada tanggal 14 November 2006, Peraturan Pemerintah ini telah menuai banyak protes dari publik.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD mengatur penambahan 2 item penghasilan baru bagi Pimpinan dan Anggota DPRD; Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan. Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 itu, maka penghasilan per bulan anggota DPRD menjadi 9 item anggaran, yang meliputi; Uang representasi, Uang paket, tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan jabatan, tunjangan kelengkapan dewan (panitia,komisi,dll), tunjangan perumahan, tunjangan khusus untuk pajak dan tunjangan komunikasi intensif. Sementara Pimpinan DPRD selain mendapat 9 jenis penghasilan sebagaimana yang didapat oleh Anggota, juga mendapat tunjangan Operasional.

Aksi protes dari publik terhadap muncul 2 item penghasilan baru DPRD sebagai dampak dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 mudah untuk dipahami. Bagaimana tidak, besarnya tunjangan komunikasi intensif yang diatur oleh Peraturan Pemerintah itu maksimal mencapai Rp 9 juta/ per orang untuk DPRD Provinsi dan Rp 8,1 juta untu DPRD Kab/kota setiap bulannya. Dari sisi kepatutan, jelas besaran tunjangan komunikasi intensif ini terhitung fantastis disaat masyarakat di daerah masih bergelut dengan krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Dari sisi kepatuhan hukum, besarnya tunjangan komunikasi intensif DPRD Provinsi/Kab/Kota hampir 300% lebih besar dari tunjangan komunikasi intensif DPR RI yang besarnya hanya Rp 3 juta/bulan. Didalam paragraf 5, Muqaddimah penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 sendiri menyatakan : Besaran tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi dan Dana Operasional Pimpinan DPRD Provinsi tidak lebih besar dari yang diterima oleh Pimpinan dan Anggota DPR RI.

Sementara tunjangan operasional untuk pimpinan yang maksimal besarnya; Ketua DPRD Provinsi Rp 18 juta/bulan, Ketua DPRD Kabupaten/Kota Rp 16,2 juta/bulan, Wakil Ketua DPRD Provinsi Rp 12 juta/bulan dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten/kota Rp 10,8 juta/bulan berpotensi untuk tumpang tindih dengan Biaya Penunjang Kegiatan DPRD yang mempunyai fungsi penganggaran sama yaitu mendukung kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD. Hal ini membuka peluang untuk terjadinya duplikasi penggunaan anggaran dengan satu laporan pertanggungjawaban keuangan.
Terkait tindakan DPRD yang akan menganggarkan Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan, yang dilakukan secara rapel untuk Tahun Anggaran 2006 dan serta memakai batas maksimal untuk Tahun Anggaran 2007, Kami memberikan beberapa catatan:

Pertama, walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 melalui pasal 14D menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah ini berlaku surut sejak 1 Januari 2006, sehingga pembayaran Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan dibayar sejak bulan Januari 2006. Namun hal ini bukan berarti DPRD bisa secara langsung menganggarkan 2 tunjangan itu di APBD Tahun Anggaran 2007 dengan sistem rapel dan memakai batas maksimal tunjangan. Jika melihat pasal 14C ayat (1) ditegaskan bahwa penetapan besarnya 2 tunjangan yang dimaksud mempertimbangkan beban tugas dan kemampuan daerah keuangan daerah dan penjelasan pasalnya yang menyatakan “Kemampuan keuangan daerah antara lain dikaitkan dengan ketersediaan keuangan daerah setelah seluruh pendapatan daerah dianggarkan untuk mendanai urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan kewajiban lainnya yang mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan seperti pembayaran cicilan dan pokok utang pinjaman daerah dan/atau pelunasan kewajiban pemerintah daerah kepada pihak ketiga”. Dapat disimpulkan bahwa penganggaran untuk 2 tunjangan komunikasi intensif dan operasional pimpinan hanya bisa dianggarkan oleh daerah yang APBDnya mengalami surplus anggaran. Sementara berdasarkan catatan KONTAK Rakyat Borneo, sejak tahun 2002 sampai 2006, belum ada satupun APBD di Kalbar yang mengalami surplus anggaran.

Kedua, rapel tunjangan komunikasi intensif dan operasional pimpinan yang dibebankan pada APBD Tahun Anggaran 2007, harus disertai dengan bukti-bukti pertanggungjawaban eksternal. Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 secara tersirat menerapkan sistem lumpsum dalam penetapan besarnya 2 tunjangan tersebut, namun dalam laporan pertanggungjawabannya harus bersifat at cost (ril) sebagaimana telah digariskan dalam Standar Akuntansi Keuangan Negara/Daerah. Yang menjadi pertanyaan kemudian; apakah benar para anggota dan pimpinan DPRD telah melakukan komunikasi intensif dengan konstituen sejak Januari 2006 – Desember 2006 dengan merogoh kocek mereka sendiri tanpa mengganggu anggaran DPRD? Berapa besar ongkos komunikasi mereka dengan konstituen setiap bulannya? Apakah benar Rp 9 juta? Bisa dibayangkan berapa banyak voucher HP ataupun ongkos komunikasi lainnya yang mereka keluarkan setiap bulannya. Apakah ada jaminan bahwa tunjangan komunikasi intensif itu digunakan benar-benar untuk kepentingan konstituen? apakah benar pimpinan DPRD telah melakukan tugas dan fungsinya sejak Januari 2006 - Desember 2006 dengan merogoh kocek mereka sendiri tanpa dibiayai dari Biaya Penunjang Kegiatan DPRD? Sebagai wakilnya rakyat, wajib hukum para anggota dan pimpinan DPRD itu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan menyampaikannya secara terbuka kepada publik, baru kemudian menetapkan tunjangan-tunjangan tersebut sesuai dengan belanja ril yang telah mereka keluarkan.

Melihat penjelasan ringkas diatas, jelas bahwa pembuatan dan pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 oleh Pemerintah Pusat terkesan terburu-buru sehingga menghasilkan produk hukum yang rawan korupsi dan bertentangan dengan kondisi masyarakat didaerah. Pada dataran politik, bisa jadi Peraturan Pemerintah ini merupakan ’’jebakan“ buat DPRD yang semula memang telah banyak melakukan korupsi anggaran. Jika memang DPRD sepakat dengan prediksi ’’jebakan’’ itu, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah dengan tidak mengindahkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 dengan tetap berpegang pada aturan lama; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 dan perubahan pertama atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2005 dalam menyusun anggaran keuangan dan melakukan gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Pemerintah 37 Tahun 2006 tersebut , toh juga itu tidak memberikan konsekuensi hukum apapun terhadap mereka, malah sangat mungkin mereka akan mendapat dukungan penuh dari konstituennya.

Dalam ranah pemberantasan korupsi, KONTAK Rakyat Borneo berkeyakinan bahwa pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 dalam pengganggaran keuangan DPRD jelas akan menghasilkan anggaran DPRD yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan negara. Oleh sebab itu pula, Kami mendesak agar aparatur penegak hukum memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 ini.

Bilamana telah terjadi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 seperti Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan, yang dilakukan secara rapel untuk Tahun Anggaran 2006 dan serta memakai batas maksimal untuk Tahun Anggaran 2007, sementara jelas APBD tidak mampu secara keuangan untuk menanggungnya (defisit anggaran), maka Kami akan melakukan laporan tindak pidana korupsi kepada penegak hukum terhadap DPRD.

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial