Jumat, 18 Juli 2008

“POTRET PEMBERANTASAN KORUPSI KALIMANTAN BARAT”

Kinerja Lembaga Penegak Hukum dan Pengadilan di Kalbar
Khusus aparatur penegak hukum di Kalimantan Barat, penanganan kasus korupsi menunjukkan perkembangan yang cukup bagus. Ditetapkannya beberapa Tersangka dalam kasus korupsi oleh Kejaksaan dan Kepolisian di Kalimantan Barat paling tidak menggambarkan adanya kemauan dari 2 lembaga penegak hukum tersebut untuk memberantas korupsi secara lebih serius. Namun demikian, keluhan masyarakat bahwa aparat penegak hukum dan pengadilan lamban dalam menangani perkara-perkara korupsi juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kesangsian masyarakat itu bukan tanpa alasan. Setidaknya dalam perkembangan terakhir, beberapa pokok masalah penting dapat diajukan.

Pertama, laporan korupsi tidak ditindaklanjuti. Dalam prakteknya ada beberapa laporan masyarakat atau NGO tentang terjadinya tindak pidana korupsi seringkali tidak direspon oleh institusi Kejaksaan dan Kepolisian dengan melakukan penyelidikan atau penyidikan. Hal ini juga diperburuk dengan tindakan institusi Kejaksaan/Kepolisian yang tidak pernah memberikan kejelasan mengenai alasan tidak ditindaklanjutinya laporan korupsi itu.

Dugaan korupsi Pembangunan Gedung Kesenian dan Water Front City di Kota Sambas yang sempat mencuat pada awal tahun 2005, hingga saat ini tidak ditindaklanjuti. Dugaan korupsi Jalan Nanga Kantuk dan SPBU Fiktif di Kapuas Hulu , dugaan korupsi anggaran DPRD Kabupaten Kapuas Hulu , Pembebasan Lahan untuk Kantor Pemerintahan di Kabupaten Sekadau yang dilaporkan kepada Kapolda bulan Desember 2004 dan bulan Juni 2006 , Dana Otonomi Daerah di Kabupaten Landak , Kabupaten Kapuas Hulu dan Kota Pontianak yang dilaporkan kepada Kajati pada bulan Desember 2004 dan bulan Maret 2005 , hingga saat ini juga mengalami nasib yang sama.

Kedua, tidak jelas pemeriksaannya. Hampir sebagian besar kasus korupsi terutama yang melibatkan pejabat Daerah tidak jelas proses hukumnya. Banyak ditemui pemeriksaan dilakukan hanya sebatas formalitas pemeriksaan saksi-saksi selanjutnya tidak jelas penanganannya. Kejadian lainnya yang muncul adalah meskipun kasus korupsi yang dilaporkan sudah masuk tahap penyelidikan atau penyidikan, namun hingga beberapa tahun belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Sebut saja kasus korupsi anggaran DPRD di ; Kota Pontianak , Kabupaten Landak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Bengkayang dan DPRD Provinsi Kalimantan Barat, yang dilaporkan pada sejak bulan Desember 2004, namun sampai sekarang belum satu kasuspun yang di sidang. Sementara kasus korupsi anggaran Eksekutif seperti; PSDH/DR Kabupaten Ketapang, PSDH/DR Kabupaten Sintang, Pembangunan Kantor Satu Atap dan Pengadaan Air Bersih Riam Madi di Kabupaten Bengkayang, RSUD Abdul Aziz Kota Singkawang, RSUD Pemangkat Kabupaten Sambas,

Ketiga, dihentikan penyidikannya. Penghentian Penyidikan (SP3) kasus korupsi tidak saja menjadi kebiasaan Kejaksaan Agung maupun Mabes Polri, namun juga mulai terjadi di Kalimantan Barat. Dugaan korupsi pada Proyek Listrik Pedesaan PT PLN Cabang Kalbar yang ditangani Polda Kalbar sejak bulan Oktober 2004, terindikasi dihentikan penyidikannya oleh Polda, demikian juga dengan dugaan korupsi Dana Tunjangan Hari Raya untuk DPRD Kota Pontianak yang ditangani oleh Kejari Pontianak dan dugaan korupsi Kredit Macet PT Bank Kalbar yang ditangani Kejati.

Kejadian serupa juga terjadi pada kasus korupsi dalam Pelepasan 6 Kapal Nelayan Asing yang ditangani oleh Kejati Kalbar sejak tahun 2003. Kasus ini kemudian dihentikan dengan alasan barang bukti berupa Kapal Nelayan Asing itu telah hilang.

Keempat, hanya menjerat sebagian pelaku. Hal ini umumnya terjadi pada praktek korupsi berjamaah dengan aktor DPRD maupun Eksekutif. Sebut saja korupsi anggaran yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Pontianak misalnya. Dari 45 orang mantan pimpinan dan anggota DPRD yang diduga menerima “uang haram’ itu, hanya 5 orang yang akhirnya diproses hingga ke pengadilan. Sementara 40 orang lainnya serta pejabat eksekutif yang turut membantu dalam penganggaran “uang haram” itu, hingga saat ini belum juga ditetapkan sebagai Tersangka.

Persoalan ini juga terlihat dalam kasus korupsi anggaran DPRD Kota Singkawang. Pengungkapan kasus korupsi di pengadilan yang hanya menjerat sebagian pelaku ini juga mulai terjadi pada penanganan semua kasus korupsi anggaran DPRD dan Eksekutif di Kalbar, kecuali untuk penanganan kasus korupsi DPRD Kabupaten Bengkayang ( seluruh anggota DPRDnya ditetapkan sebagai Tersangka pada Oktober 2005, sampai Januari 2007 belum di sidang) .

Kelima, Tersangka/Terdakwa tidak ditahan. Hampir semua Tersangka kasus korupsi yang telah ditetapkan, terutama Pejabat Negara/Daerah sama sekali tidak ditahan. Hal ini terjadi menyeluruh di semua kasus korupsi dengan aktor Pejabat Negara/Daerah yang sedang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Dari 40 orang Tersangka dan 4 orang Terdakwa pejabat Daerah yang telah ditetapkan Kejati dan Kepolisian pada tahun 2005 dan 2006 dalam kasus korupsi anggaran DPRD Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sintang dan Provinsi Kalbar, Dana Asuransi Pemprov, PSDH/DR Kapuas Hulu, Pasar Dahlia Kota Pontianak dan RSUD Soedarso Provinsi Kalbar, tidak ada satupun yang ditahan.

Hal yang cukup mengkhawatirkan juga terjadi dalam persidangan kasus korupsi Dana Otonomi Daerah Kabupaten Sintang dengan Terdakwa dari unsur pimpinan DPRD pada hari Kamis (18/01/07). Salah satu Terdakwa, yaitu Ketua DPRD Kabupaten Sintang yang berstatus Tahanan Kota tidak tidak hadir di persidangan dengan alasan sedang berada diluar kota untuk urusan dinas. Reaksi Kejari dan Majelis Hakim yang permisif dengan tidak melakukan tindakan tegas berupa perintah penahanan atas kejadian yang tergolong Contempt Of Court itu bisa berdampak pada penilaian buruk masyarakat terhadap kinerja Pengadilan.

Sejatinya, penahanan Tersangka/Terdakwa kasus korupsi, apalagi yang melibatkan Pejabat Negara/Daerah dapat dilakukan oleh Pengadilan dalam upaya memperbaiki citra Pengadilan yang selama ini dituding publik terlihat ‘sungkem” terhadap pejabat korup. Terlebih lagi secara hukum, penahanan Tersangka/Terdakwa juga dimungkinkan untuk memperlancar proses penyidikan/persidangan dengan alasan adanya gejala Tersangka/Terdakwa untuk mengaburkan/menghilangkan barang bukti, mencoba lari atau tidak bekerjasama dalam proses penyidikan/persidangan, dll.

Keenam, tidak dieksekusi meskipun sudah divonis pengadilan. Dalam beberapa kasus korupsi di Kalimantan Barat meskipun telah dilimpahkan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah serta divonis penjara, namun dalam prakteknya Terdakwa tidak bisa langsung di bui. Hal ini disebabkan karena putusan bersalah tersebut tidak diikuti dengan perintah hakim untuk segera mengeksekusi terdakwa ke dalam penjara.

Setidaknya hal ini bisa dilihat dalam kasus korupsi pengadaan barang di Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas yang di adili di Pengadilan Negeri Singkawang. 1 orang Terdakwa yang divonis 1 tahun penjara dan denda 150 juta atau subsider 3 bulan kurungan. Sayangnya, vonis Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Singkawang tidak diikuti dengan perintah agar Terdakwa segera masuk ke lembaga pemasyarakatan. Hal serupa juga terjadi dalam kasus korupsi Traffic Management Kota Pontianak. Sampai disini, anggapan masyarakat bahwa adanya pembedaan perlakukan istimewa lembaga peradilan terhadap koruptor berbanding pelaku criminal lainnya, memang benar adanya.

Ketujuh, vonis bebas pengadilan. Persoalan vonis bebas murni yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap kasus korupsi dengan pertimbangan hukum yang sumir dan bertolak belakang dengan kepentingan umum, hampir terjadi dalam setiap kasus korupsi di Kalbar. Ditahun 2005, terdapat 5 kasus besar yang menarik perhatian publik seperti korupsi anggaran DPRD Kabupaten Pontianak, korupsi anggaran DPRD Kota Singkawang, BNI Cabang Untan, Kimia Farma, Puskolap, sementara di tahun 2006 terdapat 1 kasus yaitu korupsi Jalan Lingkar Sambas. Keseluruhan kasus - kasus korupsi yang terekspose secara luas dipublik kalbar itu berujung pada vonis bebas murni.

Kedelapan, uang pengganti perkara korupsi yang tidak jelas. Ditahun 2005, dalam hasil pemeriksaannya terhadap Kejaksaan Agung RI, BPK mengungkapkan bahwa Uang Pengganti Perkara Korupsi yang menjadi tanggungan JAMPIDSUS cq. ASPIDSUS Kejaksaan Tinggi Kalbar sebesar Rp 235.536.337.686, atau nomor 2 tertinggi se Indonesia setelah DKI Jakarta. Uang Pengganti Perkara Korupsi itu berasal dari 6 kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di Kalimantan barat, yang masing-masing rincian masa penggantian uang ; kurang dari 1 tahun sebanyak 2 kasus dan 1-10 tahun sebanyak 4 kasus. Hingga saat ini, pihak Kejaksaan Tinggi Kalbar belum pernah menyampaikan kepada publik tentang siapa saja terpidana 9 kasus korupsi itu, atas kasus korupsi apa mereka jadi terpidana, bagaimana posisi pengembalian Uang Pengganti Perkara Korupsinya, bagaimana pengelolaan Uang Pengganti Perkara Korupsi yang telah dikembalikan oleh terpidana. Sementara berdasarkan hasil diskusi Sesjampidsus dengan Koalisi Nasional NGO Anti Korupsi akhir bulan November 2006 lalu, terungkap bahwa uang pengganti perkara sebesar Rp 235.536.337.686 sama sekali belum dieksekusi oleh Kejati Kalbar.

Kesembilan, Surat Dakwaan JPU yang Obscur Libel. Praktek Obscur Libel dalam Surat Dakwaan sepertinya jamak terjadi hampir diseluruh kasus korupsi yang diajukan oleh JPU di persidangan. Berdasarkan hasil Eksaminasi Publik terhadap Surat Dakwaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam beberapa kasus korupsi, seperti kasus korupsi anggaran DPRD Kabupaten Pontianak, kasus korupsi anggaran DPRD Kota Singkawang dan kasus korupsi Pengadaan Barang Diknas Kabupaten Sambas, mengungkapkan ketidakcermatan JPU dalam menerapkan pasal-pasal aturan perundang-undangan untuk mendakwa pelaku korupsi. Obscur Libelnya Surat Dakwaan yang dibuat JPU, setidaknya berdampak pada terbukanya peluang bagi Majelis Hakim yang mengadili perkara untuk membebaskan Terdakwa dengan menerima Surat Dakwaan yang Obscur Libel dan dijadikan bahan dasar membuat pertimbangan hukum yang sumir.

Hal yang menarik terjadi dalam Putusan Sela Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Putussibau dan Pontianak yang mengadili kasus korupsi PSDH/DR Kabupaten Kapuas Hulu dan kasus korupsi Pengadaan Barang Diknas Kota Pontianak. Kedua Putusan Sela Majelis Hakim itu membatalkan dan mengembalikan Surat Dakwaan JPU karena dinilai Obscur Libel. Tindakan Majelis Hakim tersebut sepatutnya dijadikan standar pengadilan dalam mengadili perkara korupsi, karena lebih baik membatalkan dan mengembalikan Surat Dakwaan yang Obscur Libel untuk di perbaiki JPU ketimbang menerimanya untuk kemudian dijadikan pertimbangan hukum yang membebaskan Terdakwa.

Kesepuluh, adanya dukungan finansial dari Pemerintah Daerah dalam bentuk bantuan operasional instansi vertikal dan bantuan Muspida kepada Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian. Hasil Pemeriksaan BPK-RI Perwakilan Kalbar Tahun Anggaran 2006 terhadap 7 Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2005 menemukan penyimpangan dana yang diberikan pada anggota Muspida dan instansi vertikal, termasuk di dalamnya Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan dan Kepala Kepolisian. 7 Laporan Keuangan Daerah yang dimaksud meliputi : Provinsi Kalbar, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kota Pontianak dan Kota Singkawang.

Modus penyimpangan dana itu terdiri dari; Pertama, bantuan dana Muspida bersumber dari APBD yang dijadikan penghasilan tambahan para anggota Muspida, dengan rincian Rp 2 juta – Rp 2,5 juta masing – masing setiap anggota Muspida setiap bulan. Hal ini terjadi pada APBD Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak. Sementara dalam APBD Kabupaten Kapuas Hulu, terungkap bantuan sebesar Rp 987 juta yang diyakini BPK Perwakilan Kalbar sebagai penghasilan tambahan bagi para anggota Muspida Kabupaten Kapuas Hulu.

Kedua, penggunaan dana untuk instansi vertikal dipakai untuk keperluan operasional tanpa laporan keuangan yang jelas, sehingga membuka peluang duplikasi anggaran APBN dan APBD. Modus ini terjadi pada APBD Provinsi Kalbar, Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau dan Kota Singkawang.

Secara sadar maupun tidak sadar, dana APBD untuk penghasilan tambahan anggota Muspida sudah masuk dalam wilayah tindak pidana korupsi. Jika berdasar pada pasal 12 Undang - Undang No 20 Tahun 2001, maka penghasilan tambahan dari APBD yang diterima oleh anggota Muspida setiap bulannya itu masuk kategori Gratifikasi lewat 30 hari yang tidak dilaporkan ke KPK

Kesebelas, buruknya koordinasi KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam percepatan pemberantasan korupsi di Daerah. KPK sebagai lembaga superbody dan leading institution dalam pemberantasan korupsi dengan kewenangan luar biasa, tidak efektif menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga Kejaksaan dan Kepolisian yang dimilikinya. Hal ini diperkuat dalam fenomena macetnya penanganan kasus korupsi melibatkan pejabat Daerah di Kalbar, KPK terlihat enggan untuk melakukan pengambilalihan penanganan kasus atau memfasilitasi agar kasus yang macet cepat di sidang. Jika beban penanganan perkara di KPK yang menumpuk dengan minimnya personil menjadi alasan KPK tidak melakukan pengambilalihan penanganan perkara korupsi yang macet, fasilitasi percepatan penanganan kasus korupsi dalam bentuk terobosan hukum oleh KPK kepada Kejaksaan dan Kepolisian di Kalbar bisa jadi merupakan tindakan yang tepat dan sangat mungkin untuk dilakukan.

Terobosan hukum yang dimaksud bisa berupa pemeriksaan terhadap pejabat Daerah seperti DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berdasarkan Undang- Undang Susduk Legislatif dan Undang- Undang Pemerintah Daerah harus mendapat ijin pemeriksaan dari Presiden atau Mendagri. Bukankah kewenangan luar biasa yang dimiliki KPK sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang- Undang KPK, menjadikan KPK sebagai satu – satunya Lembaga Penyidik di Indonesia yang berwenang memeriksa pejabat Daerah tanpa ijin dari Presiden dan Mendagri. Tindakan KPK itu bisa menjawab kendala penanganan kasus korupsi melibatkan pejabat Daerah di Kalbar yang selalu dikaitkan dengan persoalan ijin Presiden dan Mendagri.

Disisi lain, standar penanganan perkara korupsi secara terpadu yang seharusnya dimotori oleh KPK, terutama untuk kasus korupsi yang melibatkan pejabat Daerah, sama sekali belum terlihat di Kalbar. Sebut saja penerapan pasal 37 dan 38 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang memandatkan asas pembuktian terbalik di persidangan terhadap harta kekayaan terdakwa kasus korupsi yang dicurigai di peroleh dari hasil korupsi. Bukankah paska bubarnya KPKPN, KPK merupakan satu-satunya Lembaga yang berwenang untuk meminta dan memeriksa Harta Kekayaan Pejabat Negara/Daerah (LHKPN/LHKPD)

LHKPN/LHKPD yang sudah diserahkan oleh Pejabat Negara/Daerah kepada KPK, seharusnya langsung diverifikasi/lidik secara menyeluruh oleh KPK untuk mengidentifikasi kewajaran antara penambahan kekayaan dan penghasilan per tahun pejabat bersangkutan. Hasil verifikasi/lidik itu kemudian dijadikan petunjuk bagi penuntut umum dari Kejaksaan dan KPK dipersidangan untuk membuktikan unsur memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan Koalisi NGO Untuk Kalbar Bebas Korupsi terhadap LHKPN dari salah satu Pejabat Negara di Kalbar yang sedang disidik oleh Kepolisian, terungkap pengisian LHKPN yang dilakukan oleh pejabat bersangkutan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya, karena ada beberapa aset yang nilainya di mark down dan tidak dilaporkan dalam LHKPN. Kuat dugaan, tidak menyeluruhnya verifikasi/lidik dari KPK terhadap LHKPN Pejabat Negara bersangkutan juga terjadi dibanyak LHKPN/LHKPD yang diserahkan oleh Pejabat Negara/Daerah di Kalbar.

Belum jalannya proses verifikasi/lidik oleh KPK terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara/Daerah dari pejabat yang terlibat korupsi berkontribusi terhadap mandegnya penerapan pembuktian terbalik aset kekayaan pelaku korupsi di persidangan kasus korupsi di Kalbar. Hal ini semakin diperparah oleh sikap pasif dari Kejaksaan dan Kepolisian untuk mengakses informasi dan berkoordinasi dengan KPK tentang persoalan pembuktian terbalik terhadap aset kekayaan Pejabat Negara/Daerah yang telah didakwa melakukan korupsi. Walaupun telah ada Memorandum Of Understanding antara Kapolri, Jaksa Agung dengan Pimpinan KPK tentang percepatan pemberantasan korupsi, namun kerjasama itu belum terlihat banyak dalam penanganan kasus korupsi di Kalbar.

Selain di KPK, persoalan standar penanganan perkara korupsi juga terjadi ditubuh Kejaksaan dan Kepolisian. Walaupun sudah ada indikator penanganan perkara korupsi (Kesepakatan Ciloto) di Kejaksaan, namun dokumen indikator itu tidak lebih hanya sekedar dokumen “mati”. Dalam konteks Kalbar, penyelesaian tunggakan kasus korupsi ditahun 2005 sampai batas bulan Maret 2006 yang jumlahnya lebih dari 24 kasus, sama sekali tidak terlaksana. Deadline batas penyidikan perkara paling lama 6 bulan dan kejar target perkara dengan pola minimal 5-3-1 untuk Kejati, Kejari dan Cabang Kejari juga tak kunjung terpenuhi. Dari 24 kasus korupsi yang disidik Kejaksaan sejak tahun 2005, hanya 2 kasus yang sudah di sidang (PSDH/DR Kabupaten Kapuas Hulu dan Pengadaan Barang di Diknas Kota Pontianak, namun Surat Dakwaan 2 kasus itu dibatalkan Majelis Hakim). Sementara, selain Kejati yang menangani kasus korupsi lebih dari 5 buah, belum ada satupun Kejari di Kalbar menangani kasus lebih dari 3 buah, bahkan Cabang Kejari Entikong sama sekali tidak menangani perkara korupsi, padahal praktek korupsi dalam skala berbobot dan kecil – kecilan terindikasi marak terjadi di perbatasan Entikong dan Tebedu (Malaysia). Berangkat dari fakta ditas, sangat mengejutkan jika kemudian Kajati menyatakan prestasi Kejaksaan Kalbar berada pada rangking 4 dalam evaluasi kinerja Kejaksaan se Indonesia minggu lalu. Khusus Kepolisian, standar penanganan perkara yang lebih populer dengan sebutan “Buku Kuning”, masih dijadikan acuan oleh beberapa penyidik polisi dalam menangani perkara korupsi. Sementara indikator penanganan perkara korupsi sebagaimana yang sudah dibuat oleh Kejaksaan, belum memicu Kepolisian untuk berbuat hal yang sama.

Kesebelas, inkonsistensi dan permisifnya KPK dalam menerapkan Delik Gratifikasi. Delik Gratifikasi sebagaimana diatur dalam pasal 12B Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang berdefinisi suap dalam arti luas, sesungguhnya bisa dijadikan delik andalan dalam memberantas korupsi disaat maraknya modus korupsi hasil kompromi dari Legislatif, Eksekutif dan Swasta yang terjadi dari pusat sampai Daerah. Namun hal ini menjadi bias ketika KPK sebagai leading institution pemberantasan korupsi sekaligus satu – satunya Lembaga Penilai boleh tidaknya seorang penyelenggara Negara menerima Gratifikasi, baru akan melakukan penindakan terhadap penyelenggara Negara yang ditidak melaporkan penerimaan Gratifikasi mulai tahun 2007 (Harian Kompas,24/01/07). Hal ini bisa jadi menjelaskan sebab macetnya penanganan kasus korupsi berdelik Gratifikasi yang ditangani oleh KPK, sebut saja Dana Otonomi Daerah Kabupaten Sintang yang melibatkan anggota DPR RI Kalbar.

Kedua belas, minimnya akses masyarakat untuk memperoleh laporan kemajuan penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan, Kepolisian. Masalah ini mengakibatkan jumlah perkara korupsi yang belum, sedang dan sudah diselesaikan oleh Kejaksaan dan Kepolisian sulit dikonfirmasi kebenarannya. Ekspose publik terhadap penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh 2 lembaga penegak hukum pada setiap akhir tahun sama sekali tidak menyebutkan jumlah laporan masyarakat yang masuk serta kejelasan tindak lanjutnya. Disisi lain, ada kecenderungan aparat hukum terjebak pada usaha-usaha penanganan kasus korupsi yang terbatas pada penyelesaian pada aspek jumlah. Misalnya, jika dalam satu tahun pemenuhan penyelesaian kasus korupsi yang ditargetkan sudah tercapai maka dimensi kualitas kasus seringkali diabaikan. Kasusnya apa, nilai kerugian negara berapa dan siapa pelakunya bukan lagi menjadi prioritas utama.

2. Geliat Pemerintahan Dalam Pemberantasan Korupsi
Pada level Pemerintahan Daerah di Kalbar, pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh SBY sama sekali belum menjadi prioritas atau bahkan terkesan diacuhkan. Pada level Provinsi, baik pejabat eksekutif seperti Gubernur dan Wakil Gubernur maupun DPRD tutup mulut soal strategi pemberantasan korupsi yang jelas merupakan tugas pokok mereka. Hal yang sama juga terjadi ditingkat Kabupaten dan Kota. Sampai 31 Desember 2006, tidak satupun pernyataan para pejabat Daerah melalui media lokal yang menjelaskan bicara tentang strategi pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi di lembaga yang dipimpinnya. Hal ini semakin memperjelas ketika agenda pemberantasan korupsi yang dijabarkan ditingkat nasional dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) pada akhir tahun 2004, sampai sekarang belum ditindaklanjut oleh Pemerintah Daerah (Eksekutif dan DPRD) dalam bentuk Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD-PK).

Alih-alih melaksanakan program pemberantasan korupsi, para pejabat eksekutif dan DPRD di Kalbar malah dilaporkan ke penegak hukum oleh masyarakat. Sampai akhir tahun 2006, lebih dari 21 Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah baik yang sedang menjabat maupun yang sudah tidak menjabat tersangkut kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian di Kalbar. Sementara lebih dari 400 anggota DPRD dan 4 orang anggota DPR RI dan 1 orang anggota DPD di Kalbar juga mengalami nasib yang sama.

Disisi lain, lembaga pengawas internal seperti Inspektorat Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota yang merupakan kepanjangan tangan dari Kepala Daerah dalam melakukan penindakan dan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi di lembaga yang dipimpinnya, seakan jalan ditempat. Hal ini diperkuat dengan belum ada temuan lembaga inspektorat itu yang berlanjut ke lembaga Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak seriusnya Pemerintahan Daerah di Kalbar terhadap pemberantasan korupsi juga ditunjukkan pada tidak adanya atau kurangnya kebijakan daerah yang mendukung pemberantasan korupsi. Dari 13 daerah Kalbar, hanya 2 daerah yang sudah membuat Peraturan Daerah tentang Transparansi ; Provinsi dan Kota Pontianak. Namun persoalan yang terjadi kemudian adalah Peraturan Daerah itu tidak dilaksanakan untuk memenuhi dahaga publik yang haus akan informasi dan dokumen yang selama ini ditutup. Selain itu, belum ada satupun daerah di Kalbar yang mencoba menginisiasi pembentukan lembaga pengaduan pelayanan publik seperti Komisi Ombudsman yang dilakukan oleh Pemerintah DIY. Sejatinya, pembentukan lembaga pengaduan pelayanan publik ini merupakan sebuah kewajiban Pemerintah Daerah pada publik di saat pelayanan publik sudah mencapai titik terendah kualitasnya di Kalbar.

Pelayanan Publik Yang Sakit
Dalam laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2001, Indonesia ditempatkan dalam kategori negara-negara yang belum mampu memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Indonesia menempati urutan ke 102 dari 162 negara yang disurvey. Disisi lain, Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan data BPS tahun 2003, ditempatkan pada urutan 23 dari 26 provinsi untuk indeks nutrisi penduduk. Artinya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat tergolong kategori belum mampu dalam menyediakan nutrisi penduduknya. Atas kegagalan dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang murah, cepat dan merata itu, sejak tahun 2002 Pemerintah Provinsi Kalbar menargetkan paling lambat tahun 2010 kebutuhan kesehatan masyarakat telah dinikmati secara merata.

Setidaknya ada 3 faktor dominan yang menciptakan iklim buruk pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Pertama; kurang seriusnya pemerintah dalam memperbaiki pelayanan kesehatan publik. Indikator utamanya adalah minimnya anggaran yang disediakan untuk sektor kesehatan. Rata-rata pertahun anggaran yang disediakan pemerintah untuk sektor kesehatan hanya 2,2 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara anjuran yang dikeluarkan oleh WHO minimal anggaran untuk sektor kesehatan adalah 5% dari PDB. Kondisi yang lebih buruk terungkap pada APBD Kalbar Tahun Anggaran 2002, untuk sektor kesehatan dianggarkan sebesar 0,03% dari Produk Regional Domestik Bruto (PRDB) Kalbar ditahun 2002.

Kedua; mahalnya ongkos pelayanan kesehatan yang dibayar masyarakat tidak diimbangi dengan kualitas institusi kesehatan dan pegawai institusi itu. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soedarso misalnya. Sebagai satu-satunya RSUD dibawah Pemprov Kalbar, pada tahun 2003-2004 saja, tercatat kurang lebih 12,9 milyar dari pendapatan RSUD Soedarso merupakan retribusi langsung yang dipungut dari masyarakat, sementara alokasi anggaran yang langsung dinikmati oleh masyarakat ditahun 2003-2004 sebesar 7,7 milyar atau 59% dari retribusi yang disetor masyarakat ke RSUD Soedarso .Berangkat dari hitung-hitungan itu, sisa retribusi 41% sebesar 5,2 milyar merupakan ongkos tambahan untuk belanja rutin pegawai RSUD Soedarso. Artinya, masyarakat yang berobat selama tahun 2003-2004 di RSUD Soedarso mensubsidi 5,2 milyar untuk keperluan belanja rutin pegawai institusi kesehatan milik Pemprov Kalbar itu. Subsidi dari masyarakat ini, diluar belanja rutin dari APBD dan subsidi oleh pemerintah pusat dalam bentuk proyek kesehatan seperti Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PPD PSE BK), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM BK), Program Penanggulangan Penyakit Menular, Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS BK), Proyek Pembinaan Pelayanan Kesehatan (Yankes) , Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Sasaran subsidi pemerintah pusat yang semula bertujuan untuk pelayanan kesehatan keluarga miskin itu, dalam prakteknya lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi pengelola RSUD Soedarso dan pemborosan anggaran untuk institusi kesehatan itu.

Setali tiga uang dengan pelayanan publik dibidang kesehatan, penyediaan layanan pendidikan untuk publik juga bernasib sama. Minimnya anggaran pendidikan bersumber dari APBD menjadi persoalan klasik yang tak kunjung selesai. Sebagai catatan, belum ada satupun daerah di Kalbar mengganggarkan dana pendidikan sebesar 20% dari total APBD/tahun setelah dikurangi belanja gaji untuk guru sebagaimana dimandatkan oleh Amandemen Keempat UUD 1945 Sementara penggunaan dana pendidikan yang sudah ada juga terkesan tidak tepat sasaran dan sarat dengan penyimpangan. Belum inkraht kasus korupsi Pengadaan Barang di Diknas Kabupaten Sambas yang terakhir di vonis bebas Pengadilan Tinggi Pontianak dan belum tuntas penyelidikan Kejaksaan terhadap penyimpangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diseluruh Kalbar Tahun Anggaran 2005, seakan menjadi stimulan untuk kembali terjadinya penyalahgunaan dana BOS di Tahun 2006 dan 2007. Di awal tahun ini, publik Kalbar disuguhkan drama “ pemaksaan” penyaluran dana BOS dari Diknas ke Sekolah Swasta bergengsi di Kota Pontianak yang SPP muridnya lebih dari Rp 500 ribu setiap bulan.

Dilain hal, krisis air dan listrik tidak berkesudahan yang terjadi diseluruh daerah di Kalbar tidak melulu karena persoalan minimnya anggaran untuk pemenuhan 2 kebutuhan dasar publik tersebut. Persoalan korupsi bisa jadi merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap kondisi ini. Kegagalan suplai air bersih di Kabupaten Bengkayang lebih disebabkan kurang berfungsinya Proyek Riam Madi akibat dari praktek mark up dalam proyek itu. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Ketapang dalam Proyek Riam Berasap yang di danai dari pinjaman luar negeri. Di PDAM Kota Pontianak, Proyek Pengadaan Pipa Selat Panjang senilai $ 7,18 juta dari Bank Dunia sejak tahun 1995, bisa dikatakan gagal memenuhi tuntutan publik untuk pengadaan air bersih. Alih- alih menyuplai air bersih secara rutin ke pelanggannya, PDAM Kota Pontianak malah berpotensi menumpuk hutang daerah yang tidak tertagih. Sementara penyediaan listrik secara berkala di Kalbar juga masih menjadi mimpi, seiring dengan mengendapnya kasus korupsi Proyek Listrik Pedesaan PT PLN Cabang Kalbar di Kepolisian Daerah Kalbar. Satu catatan penting, kasus korupsi Proyek Listrik Pedesaan ini adalah kasus korupsi pertama di Kalbar yang mendapat supervisi dari KPK, hal ini dikuatkan dengan surat pimpinan KPK bernomor R.278/KPK/VII/2004 dan R 290/KPK/VII/2004 kepada Kapolri tentang permintaan perkembangan penanganan kasus korupsi Proyek Listrik Pedesaan PT PLN Cabang Kalbar (Harian Equator,18/10/04).

Sistem Penggajian Yang Tidak Adil
Berdasarkan analisa KONTAK Rakyat Borneo terhadap 4 APBD; Provinsi Kalbar, Kab Sambas, Kab Landak dan Kota Singkawang terdapat dana senilai Rp 7,8 miliar dipakai setiap tahun anggaran untuk penghasilan tambahan para pejabat Daerah. Dana dari APBD yang dianggarkan sejak tahun 2002 tersebut, dibagikan kepada pejabat Daerah mulai dari Sekda, Asisten, seluruh kepala dinas/badan/kantor dan camat. Pemberian dana dilakukan melalui berbagai item anggaran; Uang santunan, Insentif Kegiatan , Tunjangan jabatan struktural pengganti BBM/Voucher HP dan Emelumenten. Pencairannya diberikan secara lumpsum sebesar Rp 1,5 juta –Rp 3 juta perbulan setiap orangnya. Selain mendapat beberapa tunjangan diluar ketentuan tersebut, pejabat Daerah juga mengantongi uang dari honorarium kegiatan sebesar Rp 90 ribu – Rp 100 ribu/ bulan. Dalam setiap tahun anggaran, rata-rata jumlah kegiatan yang didanai APBD berkisar 100 – 200 jenis kegiatan. Yang paling diuntungkan dari honorarium kegiatan ini adalah Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekda dan Kepala Dinas/Badan/Kantor karena posisi mereka sebagai pengarah, pembina dan koordinator kegiatan. Sementara pegawai rendahan hanya menikmati uang kesejahteraan atau Tunjangan Hari Raya berkisar Rp 250 ribu – Rp 700 ribu per orang setiap tahun.

Aturan penghasilan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah jelas rinciannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang isinya sama sekali tidak mengatur soal hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam honorarium kegiatan yang bersumber dari APBD. Sementara Tambahan penghasilan bagi PNS diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang kemudian diubah menjadi PP Nomor 58 Tahun 2005 mensyaratkan beberapa hal. Diantaranya, pemberian tambahan penghasilan harus berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah atas persetujuan DPRD. Tambahan penghasilan itu dianggarkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai, sementara pertimbangan untuk penganggarannya harus berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, dan kelangkaan profesi PNS bersangkutan. Sederhananya, penghasilan tambahan adalah bentuk penghargaan (reward) Pemerintah Daerah kepada PNS tertentu setelah melalui pertimbangan objektif dengan persetujuan DPRD.

Mengacu pada PP Nomor 105 Tahun 2000 tersebut, maka penghasilan tambahan hanya dapat diberikan kepada PNS berprestasi dalam kerja, PNS yang bertugas di tempat terpencil atau sulit dijangkau, serta PNS yang mempunyai keahlian langka. Hal itupun harus memperhatikan kemampuan keuangan Daerah bersangkutan.

Dana APBD Parkir di Rekening Pejabat
Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Kalbar sampai 31 Desember 2006 mencatat sekitar Rp 51,372 miliar dana 6 APBD Kalbar parkir di rekening pejabat daerah. 6 APBD itu meliputi: Provinsi Kalbar, Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Bengkayang. Jumlah rekening yang dimaksud mencapai 16 buah tersebar pada 4 Bank, yaitu : Bank Kalbar, Bank Persepsi, BNI dan BRI . Dana senilai Rp 51,373 miliar itu berasal dari pos penerimaan dan pengeluaran APBD pada kas daerah yang di parkir pada rekening milik pejabat daerah.

Semua rekening Bank tersebut dibawah penguasaan 11 pejabat daerah mulai dari Bupati, mantan Kepala Dinas, mantan Bendaharawan Umum, mantan Kepala Biro, mantan Pimpinan Proyek dan Pemegang Kas Dinas

Modus pemarkiran dana APBD yang berpotensi untuk di korupsi dan ajang cuci uang (money loundring) itu terdiri dari; Pertama, Dana proyek APBD dilaporkan telah dibelanjakan 100% padahal masih terdapat sisa dana yang disimpan pada rekening Bank pengelola proyek, hal ini terjadi pada proyek Bantuan Tali Asih/Ganti Rugi untuk lahan pengungsi Sambas di Desa Tebang Kacang Kab Pontianak. Oleh pengelola proyek disebutkan bahwa dana sebesar Rp 3,5 miliar yang bersumber dari APBD Provinsi Kalbar Tahun Anggaran 2004 dan 2005 telah terealisasi 100% padahal masih terdapat dana sebesar Rp 1,1 miliar yang disimpan pada rekening atas nama pengelola proyek.

Kedua, Dana APBD pada rekening dibawah penguasaan pemegang kas tidak dimasukkan dalam pembukuan APBD . Praktek seperti ini terjadi pada APBD Kabupaten Bengkayang Tahun Anggaran 2005, terdapat 4 rekening yang dikelola/atas nama pemegang kas senilai Rp 2,05 miliar yang tidak dibukukan pada APBD.

Ketiga, Penarikan dana APBD dari kas daerah oleh pejabat yang berwenang untuk kepentingan pribadi, dana yang ditarik disimpan pada rekening pribadi bersangkutan. Modus seperti ini terjadi pada APBD Kab Ketapang Tahun Anggaran 2003 dan 2004 yang dilakukan oleh Bendaharawan Umum Daerah dengan menarik uang dari kas daerah sebesar Rp 3,4 miliar untuk kepentingan pribadi. Uang tersebut kemudian disimpan di rekening Bank Persepsi atas nama bersangkutan.

Keempat, Penerimaan dan pengeluaran uang pada kas daerah sebagian besar dilakukan melalui rekening atas nama Bupati/ Kepala Daerah tanpa persetujuan DPRD dan terdapat pendebitan (pengisian uang) rekening tidak ada keterangan asal usulnya. Modus seperti itu terjadi pada APBD Kab Landak Tahun Anggaran 2005, dimana penerimaan dan pengeluaran uang pada kas daerah dilakukan melalui 13 rekening giro pada Bank Kalbar, 4 diantaranya adalah rekening atas nama Bupati.

Analisa yang dilakukan BPK terhadap transaksi pendebitan pada salah satu rekening atas nama Bupati Landak mengungkap 3 kelompok transaksi yaitu transaksi pendebitan menggunakan SPM, pemindahbukuan dan pendebitan yang tidak ada keterangannya. Dalam kondisi demikian, penelusuran memperoleh bukti yang dapat dijadikan dasar untuk meyakini keabsahan transaksi pendebitan tanpa keterangan tidak mungkin dilakukan karena tidak terdapat catatan lain sebagai dasar pembanding.

Kelima, Setoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui rekening-rekening pribadi pejabat dan rekening-rekening yang dikelola oleh pejabat tertentu tanpa pertanggungjawaban yang jelas.

Dari 5 modus ini, modus terakhir hampir terjadi di semua daerah di Kalbar, meliputi semua pos PAD yang “basah”, mulai dari PSDH dan DR, PBB, Pajak Reklame, Pajak Galian C, sampai Retribusi Kesehatan disetor ke rekening atas nama pribadi pejabat tanpa pertanggungjawaban yang sah. Akibatnya dana-dana PAD itu berpotensi besar untuk di korupsi, contoh nyata seperti yang terjadi dalam dugaan korupsi PSDH/DR Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu , Dana Askes dan Gakin di RSUD Soedarso Provinsi Kalbar, dan Donasi Bandara Supadio Kabupaten Pontianak.




Selasa, 30 Januari 2007

KOALISI NGO UNTUK KALBAR BEBAS KORUPSI

KONTAK RAKYAT BORNEO
LEMBAGA GEMAWAN
KONSORSIUM ANTI ILLEGAL LOGGING
LPS AIR
EL PAGAR
KOMPAK

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial