Jumat, 18 Juli 2008

Anatomi Tindak Pidana Pencucian Uang

Oleh A. PRADIANSYAH

KEGIATAN pencucian uang sebenarnya merupakan suatu tindak pidana atau aktivitas kriminal. Kegiatan ini memungkinkan para pelaku kejahatan menyembunyikan asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau uang hasil kejahatan yang dilakukan. Dari kegiatan ini para pelaku akhirnya menikmati dan menggunakan hasil kejahatannya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah/legal.
Seiring terjadinya globalisasi perbankan, melalui sistem perbankan, dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Indonesia mulai memberlakukan gerakan antipencucian uang yang secara formal ditandai dengan diterapkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tanggal 17 April 2002. Upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang sendiri secara parsial dan sporadis telah dilakukan sebelum dikeluarkannya UU tersebut. Upaya itu misalnya terlihat dalam ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia berupa peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah.
Dalam sektor perbankan, inisiatif untuk memerangi pencucian uang secara aktif dan lebih serius dimulai sejak Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles atau KYC) pada tanggal 18 Juni 2001. Berdasarkan PBI tersebut, bank umum diwajibkan untuk menerapkan Prinsip Mengenai Nasabah. Upaya untuk mencegah digunakannya perbankan sebagai sarana pencucian uang juga telah dilakukan oleh Bank Indonesia melalui ketentuan tentang permodalan bank yang mengatur bahwa setoran modal bank dilarang berasal dari dan atau untuk tujuan pencucian uang. Dalam perkembangannya PBI tersebut disempurnakan dengan PBI No. 3/23/PBI/2001 tanggal 23 Desember 2001 dan PBI No. 5/21/PBI/2003 tanggal 10 November 2003 guna meningkatkan efektivitas pelaksanaannya dan untuk menyesuaikan dengan UU-TPPU.
Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan ketentuan KYC untuk Bank Perkreditan Rakyat dan Pedagang Valuta Asing. Gerakan antipencucian uang tersebut telah mengakibatkan masuknya Indonesia ke dalam daftar negara yang tidak kooperatif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang (non cooperative countries and territories atau NCCTs) pada Juni 2001. Dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar NCCT’s telah membawa konsekuensi negatif tersendiri baik secara ekonomis maupun politis.
Secara ekonomis, masuk ke dalam daftar NCCT's mengakibatkan mahalnya biaya yang ditanggung oleh industri keuangan Indonesia apabila melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri (risk premium). Biaya ini tentunya menjadi beban tambahan bagi perekonomian yang pada gilirannya mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di luar negeri. Sedangkan secara politis, masuknya Indonesia ke dalam NCCT's menandakan buruknya rezim anti pencucian uang yang berlaku.
Langkah-langkah serius kemudian diambil oleh pemerintah yaitu diundangkannya Undang-Undang No. 15 tahun 2002 yang secara tegas menyatakan bahwa pencucian uang adalah suatu tindak pidana dan memerintahkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melaksanakan undang-undang tersebut. PPATK, yang dalam bahasa generiknya adalah Financial Intelligence Unit (FIU), adalah suatu badan pemerintah di bawah presiden yang independen dalam menjalankan tugasnya. Namun demikian, undang-undang tersebut dinilai oleh Financial Action Taks Force (FATF) on Money Laundering masih belum memadai. Alasannya, undang-undang tersebut belum sepenuhnya mengadopsi 40 rekomendasi dan 8 rekomendasi khusus yang mereka keluarkan. FATF meminta dengan resmi agar undang-undang tersebut diperbaiki dan disempurnakan.
Upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan undang-undang tersebut mendominasi perjalanan PPATK sepanjang tahun 2003. Penyempurnaan undang-undang tersebut pada akhirnya dapat diselesaikan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada 13 Oktober 2003. Proses amendemen dapat diselesaikan sesuai dengan komitmen pemerintah yang disampaikan kepada FATF tentunya tidak terlepas dari kerjasama yang baik antara pemerintah dan lembaga legislatif (DPR).
Adapun pokok-pokok perubahan dan penyempurnaan undang-undang itu meliputi, pertama, penegasan pengertian pencucian uang, mengubah pendekatan dalam penetapan tindak pidana asal (predicate crime) dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka. Kedua, memperluas cakupan tindak pidana pencucian uang. Ketiga, lebih mengefektifkan pelaksanaan tugas PPATK. Keempat, memperkuat kerahasiaan data. Kelima, memperluas bentuk kerja sama internasional dan terakhir keluwesan dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan internasional dalam penanganan pencucian uang.
Langkah penting lainnya yang menandai proses pembangunan rezim anti pencucian uang yang efektif adalah mulainya PPATK beroperasi secara penuh pada 17 Oktober 2003. Mulai beroperasinya PPATK tersebut ditandai dengan diserahkannya tugas menerima Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dari Bank Indonesia kepada PPATK dan kewajiban bagi seluruh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Sebelum beroperasinya PPATK secara penuh, sebagian tugas PPATK yang diamanatkan oleh undang-undang yaitu menerima dan menganalisa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang berasal dari industri perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia. Sampai dengan Oktober 2003, 288 Laporan Transaksi Keuangan Mencurikan telah diterima oleh Bank Indonesia dari 31 bank dan 70 di antaranya telah diteruskan ke pihak Kepolisian.
Sedangkan hingga Oktober 2004, Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diterima oleh PPATK telah bertambah lebih dari lima kali jumlah tersebut. Langkah-langkah konkret lainnya yang telah dilakukan PPATK adalah upaya implementasi undang-undang tindak pidana pencucian uang. Serangkaian ketentuan pelaksana telah dikeluarkan agar dapat mengoperasionalkan undang-undang tersebut. Ketentuan pelaksanaan itu dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Kepala PPATK yang meliputi pedoman umum tentang tindak pidana pencucian uang, pedoman indentifikasi dan pelaporan transaksi mencurigakan baik untuk penyedia jasa keuangan, pedagang valuta asing maupun usaha jasa pengiriman uang.
Pembangunan rezim antipencucian uang juga di­tandai dengan pereratan kerja sama antara instansi pemerintah terkait dan memperluas kerja sama internasional khususnya dengan sesama FIU. Secara formal hal ini ditandai dengan ditandatanganinya MoU dengan Bank Indonesia, Bapepam, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Lembaga Keuangan, Polri, dan Kejaksaan. Kerja sama antarinstansi ini juga ditandai dengan mulai dipekerjakannya tenaga bantuan dari berbagai instansi seperti Bank Indonesia, Bapepam, Ditjen Lembaga Keuangan, Ditjen Anggaran, BKN, Polri, dan Kejaksaan. Di samping itu juga ditandatangani MoU tentang tukar-menukar informasi dengan FIU Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Australia, dan Rumania.
PPATK juga berperan aktif dalam setiap pertemuan-pertemuan internasional seperti sidang tahunan Asia Pasific Group on Money Laundering (APG) dan pertemuan tahunan Egmont Group, serta forum internasional lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga merupakan kegiatan yang mendapat perhatian besar hingga saat ini. Langkah-langkah menonjol yang ditempuh dalam kaitan ini adalah mengirimkan staf PPATK ke berbagai seminar lokakarya maupun pusat pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Langkah penting lainnya adalah mulai dilakukannya rekrutmen pegawai.
Di samping itu PPATK juga menerima tenaga bantuan dari Austrac (FIU Australia) yang ditempatkan secara temporal di PPATK. Tenaga bantuan ini dimaksudkan untuk mempercepat proses alih keterampilan khususnya dalam mendalami dan mengenal tipologi kejahatan pencucian uang. Pengembangan sistem informasi yang berbasis teknologi juga dimulai dan dikembangkan selama bertahap. Hal ini ditandai dengan diluncurkannya website PPATK (www://ppatk.go.id) dan dimulainya Laporan Transaksi Mencurigakan secara on line. Sistem teknologi informasi ini juga telah dikelola secara mandiri oleh staf PPATK.
Proses pembelajaran masyarakat umumnya dan PJK khususnya merupakan faktor kunci dalam pembangunan rezim antipencucian uang yang efektif. Serangkaian kegiatan sosialisasi telah dilakukan baik oleh PPATK secara mandiri maupun yang dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga lain, baik domestik maupun internasional. Aparat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian juga telah mencantumkan money laundering sebagai salah satu topik dalam jenjang pendidikan mereka.
Secara simultan diskusi dengan para hakim juga dilakukan, baik yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Mahkamah Agung, maupun yang dilakukan secara mandiri oleh PPATK. Diskusi dengan para hakim didasari pertimbangan pentingnya peran para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana pencucian uang. Penerbitan buklet, pembukaan rubrik tanya jawab dalam website PPATK juga merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pembelajaran ini.
Koordinasi antar instansi terkait juga dilakukan melalui Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang yang secara formal terbentuk pada bulan Januari 2004. Komite ini dibentuk dengan tujuan untuk mengefisienkan upaya memerangi tindak pidana pencucian uang. Hingga akhir tahun 2004 ini objektif yang ingin dicapai oleh PPATK adalah keluarnya Indonesia dari NCCTs. Untuk mencapai tujuan itu langkah-langkah yang perlu dilakukan haruslah ditujukan untuk memperkuat rezim anti pencucian uang Republik Indonesia. Untuk itu empat pilar rejim tersebut harus diperkuat. Keempat pilar tersebut adalah, pertama, hukum dan perundang-undangan. Kedua, teknologi sistem informasi, sumber daya manusia. Ketiga, analisis dan kepatuhan, dan keempat, kerja sama domestik dan internasional.
Penguatan pilar pertama bertujuan agar tersedia kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan yang kuat yaitu yang dapat menciptakan ketegasan dan kejelasan tentang rezim AML sehingga mempermudah proses penegakkannya. Pilar kedua bertujuan mengefisienkan dan mengefektifkan rezim AML. Pilar ketiga bertujuan menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, terampil dan memiliki moral yang tinggi dan pilar keempat ditujukan untuk mempererat kerja sama antarinstansi domestik dan kerja sama internasional sehingga akan dapat diciptakan koordinasi lintas sektoral secara efektif dan efisien.
Di samping itu dilakukan kerja sama dengan sesama FIU untuk dapat mempercepat terjadinya tukar-menukar informasi tanpa perlu mengorbankan aspek kerahasiaan. Dukungan dari semua pihak termasuk para hakim tentunya merupakan faktor kunci untuk mencapai tujuan tersebut.***
Penulis, pemerhati masalah Hukum Perbankan.

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial