Jumat, 18 Juli 2008

Penyimpangan PSDH-DR,

Perlawanan Hukum yang Merugikan Keuangan Negara

Pernyataan Kajati Kalbar beberapa waktu lalu tentang upayanya yang sedang mendalami kasus penyimpangan dana PSDH-DR di kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, merupakan langkah maju guna menindak praktek penyimpangan dana PSDH-DR yang dilakukan oleh beberapa Pemerintah Daerah di Kalbar. Sampai hari ini baru satu kasus proses hukumnya jelas seiring telah ditetapkannya mantan Bupati Kabupaten Pontianak Cornelis Kimha sebagai tersangka, sementara praktek serupa terjadi paling tidak di lima kabupaten (Kab. Pontianak, Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, Ketapang). Pertanyaannya kemudian, kenapa praktek penyimpangan tersebut terjadi marak, bagaimana modus operandinya, serta aturan-aturan apa yang dilanggar ?

Maraknya praktek penyimpangan dana PSDH-DR di Kalbar berawal dari dicabutnya SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dengan SK Menhut 084/Kpts-II/2000 tanggal 13 April 2000. SK Menhut 310/Kpts-II/1999 yang dikeluarkan tanggal 7 Mei 1999 sebelumnya mengatur tentang Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam bentuk HPH 100 Ha kepada masyarakat. Berdasarkan SK Menhut tersebut, beberapa Kabupaten mengeluarkan SK Bupati untuk memberikan Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (IHPHH), dan sejak itu banyak IHPHH dikeluarkan oleh Bupati kepada kelompok-kelompok/koperasi masyarakat. Kebijakan Bupati ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para cukong dan pengusaha besar kehutanan yang menampung hasil kayu masyarakat dengan meminjamkan alat-lat berat (Excavator, Dozer, Loder) sehingga HPH 100 Ha yang harusnya diusahakan selama satu tahun tapi habis dalam waktu satu-dua bulan saja. Hal inilah yang mengakibatkan semakin lajunya kerusakan hutan (deforestasy) yang akhirnya mengancam eksistensi sumber daya alam. Berangkat dari fakta lapangan itulah kemudian SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dicabut pada tanggal 13 April 2000 dengan dikeluarkannya SK Menhut 084/Kpts-II/2000. Dengan dicabutnya SK Menhut tersebut, maka otomatis SK Bupati yang mengacu pada SK Menhut yang telah dicabut itu juga gugur dengan sendirinya. Akan tetapi faktanya dibeberapa kabupaten masih saja menerbitkan IHPHH dengan SK Bupati yang sebenarnya cacat hukum. Sejak saat itulah iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang harus dibayar perusahaan/kelompok tani/koperasi pemegang IHPHH kepada Kas Negara, diselewengkan dengan tidak menyetor ke Rekening Menhut, tapi disetor ke Rekening Pemda. Padahal hal itu jelas-jelas melanggar Keppres No 29 Tahun 1990 tentang DR dan Keppres No 30 Tahun 1990 tentang PSDH, serta PP No 51 Tahun 1998.

Kasus Sintang
SK Bupati Sintang Nomor 19 tahun 1999 tanggal 23 Desember 1999 tentang pemberian Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (IHPHH) yang mengacu pada SK Menhut 310/Kpts-II/1999 secara yuridis tidak dapat dipergunakan karena SK Menhut tersebut telah dicabut sejak tanggal 13 April 2000 dengan terbitnya SK Menhut 084/Kpts-II/2000. Akan tetapi faktanya berdasarkan SK Bupati tersebut, Pemda Sintang sejak tahun 2001 sampai Oktober 2002 masih saja mengeluarkan IHPHH sebanyak 409 Izin, dengan rincian tahun 2001 sebanyak 294 Izin dan tahun 2002 sebanyak 115 Izin yang diterbitkan. Oleh karena itu, seiring dengan IHPHH yang diterbitkan maka melekat kewajiban untuk menyetor iuran PSDH-DR kepada kas negara sebagaimana ketentuan Keppres No 29 tahun 1990 dan Keppres No 30 tahun 1990, serta PP No 51 Tahun 1998. Tercatat dari tahun 2001 sampai Oktober 2002 dana iuran PSDH yang disimpan dalam Rekening Giro Pemda Sintang nomor P.005 pada Bank BNI Cabang Sintang sebesar Rp. 28.565.278.965,00 sedangkan DR yang disimpan dalam Rekening Pemda nomor 023.050008090.001 sebesar Rp. 49.877.836.756,00.

Berdasarkan pengakuan tertulis Bupati Sintang Drs. Elyakim Simon Djalil,MM tanggal 25 November 2002, diketahui bahwa seluruh dana PSDH sebesar 28.565.278.965,00 atas persetujuan DPRD telah digunakan seluruhnya oleh Pemda Sintang melalui APBD. Padahal dari total dana PSDH tersebut, hak pemerintah pusat sebesar 20%, Provinsi 16%, serta Kabupaten lain 32% sebagaimana ketentuan PP 104 2000 tentang Dana Perimbangan. Sedangkan DR masih tersimpan didalam rekening Pemda sebesar Rp. 43.393.149.551,00 dengan asumsi sebesar Rp.6.484.687.205,00 telah digunakan oleh Pemda Sintang untuk membayar tunjangan guru. Disini letak kesalahan mendasar Pemda Sintang karena memasukkan dana PSDH-DR tersebut dalam APBD yang melanggar beberapa aturan perundang-undangan. Padahal pasal 43 huruf d UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa setiap Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati/Walikota berkewajiban menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
Tindakan Pemda Sintang tersebut jelas bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya :
1.UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak terutama pasal 4
2.PP No 51/1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan terutama pasal (2) dan (4)
pasal 2;
pasal 4;
3. UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terutama pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (5)
ayat 1;
ayat 5;
4. PP 104/2000 tentang Dana Perimbangan terutama pasal 8 dan 9 ayat (1) huruf b;
pasal 8;
pasal 9;
Atas tindakan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan tersebut, negara berpotensi dirugikan sebesar Rp 19.424.389.696 dengan rincian sebagai berikut:
1.Pemerintah pusat (20%) : Rp 5.713.055.793
2.Pemerintah Provinsi Kalbar (16%): Rp 4.570.444.634
3.Pemerintah Kabupaten lain (32%): Rp 9.140.889.269
Total Kerugian Negara Rp 19.424.389.696

Oleh karena itu, Pemda Sintang (Bupati, Kadishut, serta Ketua DPRD) dapat dijerat dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama pasal 2 ayat (1) dan pasal 3.
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 3;
Selain itu, Pemda Sintang (Bupati, Kadishut, serta Ketua DPRD) juga dapat dikenakan Tindak Pidana Umum sesuai dengan pasal 372 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.


Pontianak, 23 Des 2004


Hermawansyah
Koord. POKJA Antikorupsi Kalbar

Tunggakan PSDH/DR Kabupaten Kapuas Hulu

Kontak Rakyat Borneo

Maraknya praktek penyimpangan dana PSDH-DR di Kalbar berawal dari dicabutnya SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dengan SK Menhut 084/Kpts-II/2000 tanggal 13 April 2000. SK Menhut 310/Kpts-II/1999 yang dikeluarkan tanggal 7 Mei 1999 sebelumnya mengatur tentang Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam bentuk HPH 100 Ha kepada masyarakat. Berdasarkan SK Menhut tersebut, beberapa Kabupaten mengeluarkan SK Bupati untuk memberikan Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (IHPHH), dan sejak itu banyak IHPHH dikeluarkan oleh Bupati kepada kelompok-kelompok/koperasi masyarakat. Kebijakan Bupati ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para cukong dan pengusaha besar kehutanan yang menampung hasil kayu masyarakat dengan meminjamkan alat-lat berat (Excavator, Dozer, Loder) sehingga HPH 100 Ha yang harusnya diusahakan selama satu tahun tapi habis dalam waktu satu-dua bulan saja. Hal inilah yang mengakibatkan semakin lajunya kerusakan hutan (deforestry) yang akhirnya mengancam eksistensi sumber daya alam. Berangkat dari fakta lapangan itulah kemudian SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dicabut pada tanggal 13 April 2000 dengan dikeluarkannya SK Menhut 084/Kpts-II/2000. Dengan dicabutnya SK Menhut tersebut, maka otomatis SK Bupati yang mengacu pada SK Menhut yang telah dicabut itu juga gugur dengan sendirinya. Akan tetapi faktanya dibeberapa kabupaten masih saja menerbitkan IHPHH dengan SK Bupati yang sebenarnya cacat hukum. Sejak saat itulah iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang harus dibayar perusahaan/kelompok tani/koperasi pemegang IHPHH kepada Kas Negara, diselewengkan dengan tidak menyetor ke Rekening Menhut, tapi disetor ke Rekening Pemda. Padahal hal itu jelas-jelas melanggar Keppres No 29 Tahun 1990 tentang DR dan Keppres No 30 Tahun 1990 tentang PSDH, serta PP No 51 Tahun 1998.

Kasus Kapuas Hulu
Dalam APBD Kab. Kapuas Hulu TA 2002, pada pos penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berjumlah Rp 24.143.207.632,- ternyata juga termasuk PSDH sebesar Rp 21.500.000.000,- yang tidak disetor ke Kas Negara, tetapi ditahan dan digunakan oleh Pemda Kapuas Hulu dalam APBD. Padahal dari keseluruhan dana PSDH yang ditahan tersebut melekat hak Pemerintah Pusat 20%, Pemerintah Provinsi 16%, serta Pemerintah Kabupaten lain 32% (PP 104/2000 tentang Dana Perimbangan). Tindakan Pemda Kapuas Hulu tersebut jelas bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya :
1.UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak terutama pasal 4
2.PP No 51/1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan terutama pasal (2) dan (4)
pasal 2;
pasal 4;
3. UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terutama pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (5)
ayat 1;
ayat 5;
4. PP 104/2000 tentang Dana Perimbangan terutama pasal 8 dan 9 ayat (1) huruf b;
pasal 8;
pasal 9;
Atas tindakan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan tersebut, negara berpotensi dirugikan sebesar Rp 14.620.000.000 dengan rincian sebagai berikut:
1.Pemerintah pusat (20%) : Rp 4.300.000.000
2.Pemerintah Provinsi Kalbar (16%): Rp 3.440.000.000
3.Pemerintah Kabupaten lain (32%): Rp 6.880.000.000
Total Kerugian Negara Rp 14.620.000.000

Oleh karena itu, Pemda Kapuas Hulu (Bupati, Kadishut, serta Ketua DPRD) dapat dijerat dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama pasal 2 ayat (1) dan pasal 3.
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 3;
Selain itu, Pemda Kapuas Hulu (Bupati, Kadishut, serta Ketua DPRD) juga dapat dikenakan Tindak Pidana Umum sesuai dengan pasal 372 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

“POTRET PEMBERANTASAN KORUPSI KALIMANTAN BARAT”

Kinerja Lembaga Penegak Hukum dan Pengadilan di Kalbar
Khusus aparatur penegak hukum di Kalimantan Barat, penanganan kasus korupsi menunjukkan perkembangan yang cukup bagus. Ditetapkannya beberapa Tersangka dalam kasus korupsi oleh Kejaksaan dan Kepolisian di Kalimantan Barat paling tidak menggambarkan adanya kemauan dari 2 lembaga penegak hukum tersebut untuk memberantas korupsi secara lebih serius. Namun demikian, keluhan masyarakat bahwa aparat penegak hukum dan pengadilan lamban dalam menangani perkara-perkara korupsi juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kesangsian masyarakat itu bukan tanpa alasan. Setidaknya dalam perkembangan terakhir, beberapa pokok masalah penting dapat diajukan.

Pertama, laporan korupsi tidak ditindaklanjuti. Dalam prakteknya ada beberapa laporan masyarakat atau NGO tentang terjadinya tindak pidana korupsi seringkali tidak direspon oleh institusi Kejaksaan dan Kepolisian dengan melakukan penyelidikan atau penyidikan. Hal ini juga diperburuk dengan tindakan institusi Kejaksaan/Kepolisian yang tidak pernah memberikan kejelasan mengenai alasan tidak ditindaklanjutinya laporan korupsi itu.

Dugaan korupsi Pembangunan Gedung Kesenian dan Water Front City di Kota Sambas yang sempat mencuat pada awal tahun 2005, hingga saat ini tidak ditindaklanjuti. Dugaan korupsi Jalan Nanga Kantuk dan SPBU Fiktif di Kapuas Hulu , dugaan korupsi anggaran DPRD Kabupaten Kapuas Hulu , Pembebasan Lahan untuk Kantor Pemerintahan di Kabupaten Sekadau yang dilaporkan kepada Kapolda bulan Desember 2004 dan bulan Juni 2006 , Dana Otonomi Daerah di Kabupaten Landak , Kabupaten Kapuas Hulu dan Kota Pontianak yang dilaporkan kepada Kajati pada bulan Desember 2004 dan bulan Maret 2005 , hingga saat ini juga mengalami nasib yang sama.

Kedua, tidak jelas pemeriksaannya. Hampir sebagian besar kasus korupsi terutama yang melibatkan pejabat Daerah tidak jelas proses hukumnya. Banyak ditemui pemeriksaan dilakukan hanya sebatas formalitas pemeriksaan saksi-saksi selanjutnya tidak jelas penanganannya. Kejadian lainnya yang muncul adalah meskipun kasus korupsi yang dilaporkan sudah masuk tahap penyelidikan atau penyidikan, namun hingga beberapa tahun belum juga dilimpahkan ke pengadilan. Sebut saja kasus korupsi anggaran DPRD di ; Kota Pontianak , Kabupaten Landak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Bengkayang dan DPRD Provinsi Kalimantan Barat, yang dilaporkan pada sejak bulan Desember 2004, namun sampai sekarang belum satu kasuspun yang di sidang. Sementara kasus korupsi anggaran Eksekutif seperti; PSDH/DR Kabupaten Ketapang, PSDH/DR Kabupaten Sintang, Pembangunan Kantor Satu Atap dan Pengadaan Air Bersih Riam Madi di Kabupaten Bengkayang, RSUD Abdul Aziz Kota Singkawang, RSUD Pemangkat Kabupaten Sambas,

Ketiga, dihentikan penyidikannya. Penghentian Penyidikan (SP3) kasus korupsi tidak saja menjadi kebiasaan Kejaksaan Agung maupun Mabes Polri, namun juga mulai terjadi di Kalimantan Barat. Dugaan korupsi pada Proyek Listrik Pedesaan PT PLN Cabang Kalbar yang ditangani Polda Kalbar sejak bulan Oktober 2004, terindikasi dihentikan penyidikannya oleh Polda, demikian juga dengan dugaan korupsi Dana Tunjangan Hari Raya untuk DPRD Kota Pontianak yang ditangani oleh Kejari Pontianak dan dugaan korupsi Kredit Macet PT Bank Kalbar yang ditangani Kejati.

Kejadian serupa juga terjadi pada kasus korupsi dalam Pelepasan 6 Kapal Nelayan Asing yang ditangani oleh Kejati Kalbar sejak tahun 2003. Kasus ini kemudian dihentikan dengan alasan barang bukti berupa Kapal Nelayan Asing itu telah hilang.

Keempat, hanya menjerat sebagian pelaku. Hal ini umumnya terjadi pada praktek korupsi berjamaah dengan aktor DPRD maupun Eksekutif. Sebut saja korupsi anggaran yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Pontianak misalnya. Dari 45 orang mantan pimpinan dan anggota DPRD yang diduga menerima “uang haram’ itu, hanya 5 orang yang akhirnya diproses hingga ke pengadilan. Sementara 40 orang lainnya serta pejabat eksekutif yang turut membantu dalam penganggaran “uang haram” itu, hingga saat ini belum juga ditetapkan sebagai Tersangka.

Persoalan ini juga terlihat dalam kasus korupsi anggaran DPRD Kota Singkawang. Pengungkapan kasus korupsi di pengadilan yang hanya menjerat sebagian pelaku ini juga mulai terjadi pada penanganan semua kasus korupsi anggaran DPRD dan Eksekutif di Kalbar, kecuali untuk penanganan kasus korupsi DPRD Kabupaten Bengkayang ( seluruh anggota DPRDnya ditetapkan sebagai Tersangka pada Oktober 2005, sampai Januari 2007 belum di sidang) .

Kelima, Tersangka/Terdakwa tidak ditahan. Hampir semua Tersangka kasus korupsi yang telah ditetapkan, terutama Pejabat Negara/Daerah sama sekali tidak ditahan. Hal ini terjadi menyeluruh di semua kasus korupsi dengan aktor Pejabat Negara/Daerah yang sedang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Dari 40 orang Tersangka dan 4 orang Terdakwa pejabat Daerah yang telah ditetapkan Kejati dan Kepolisian pada tahun 2005 dan 2006 dalam kasus korupsi anggaran DPRD Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sintang dan Provinsi Kalbar, Dana Asuransi Pemprov, PSDH/DR Kapuas Hulu, Pasar Dahlia Kota Pontianak dan RSUD Soedarso Provinsi Kalbar, tidak ada satupun yang ditahan.

Hal yang cukup mengkhawatirkan juga terjadi dalam persidangan kasus korupsi Dana Otonomi Daerah Kabupaten Sintang dengan Terdakwa dari unsur pimpinan DPRD pada hari Kamis (18/01/07). Salah satu Terdakwa, yaitu Ketua DPRD Kabupaten Sintang yang berstatus Tahanan Kota tidak tidak hadir di persidangan dengan alasan sedang berada diluar kota untuk urusan dinas. Reaksi Kejari dan Majelis Hakim yang permisif dengan tidak melakukan tindakan tegas berupa perintah penahanan atas kejadian yang tergolong Contempt Of Court itu bisa berdampak pada penilaian buruk masyarakat terhadap kinerja Pengadilan.

Sejatinya, penahanan Tersangka/Terdakwa kasus korupsi, apalagi yang melibatkan Pejabat Negara/Daerah dapat dilakukan oleh Pengadilan dalam upaya memperbaiki citra Pengadilan yang selama ini dituding publik terlihat ‘sungkem” terhadap pejabat korup. Terlebih lagi secara hukum, penahanan Tersangka/Terdakwa juga dimungkinkan untuk memperlancar proses penyidikan/persidangan dengan alasan adanya gejala Tersangka/Terdakwa untuk mengaburkan/menghilangkan barang bukti, mencoba lari atau tidak bekerjasama dalam proses penyidikan/persidangan, dll.

Keenam, tidak dieksekusi meskipun sudah divonis pengadilan. Dalam beberapa kasus korupsi di Kalimantan Barat meskipun telah dilimpahkan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah serta divonis penjara, namun dalam prakteknya Terdakwa tidak bisa langsung di bui. Hal ini disebabkan karena putusan bersalah tersebut tidak diikuti dengan perintah hakim untuk segera mengeksekusi terdakwa ke dalam penjara.

Setidaknya hal ini bisa dilihat dalam kasus korupsi pengadaan barang di Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas yang di adili di Pengadilan Negeri Singkawang. 1 orang Terdakwa yang divonis 1 tahun penjara dan denda 150 juta atau subsider 3 bulan kurungan. Sayangnya, vonis Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Singkawang tidak diikuti dengan perintah agar Terdakwa segera masuk ke lembaga pemasyarakatan. Hal serupa juga terjadi dalam kasus korupsi Traffic Management Kota Pontianak. Sampai disini, anggapan masyarakat bahwa adanya pembedaan perlakukan istimewa lembaga peradilan terhadap koruptor berbanding pelaku criminal lainnya, memang benar adanya.

Ketujuh, vonis bebas pengadilan. Persoalan vonis bebas murni yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap kasus korupsi dengan pertimbangan hukum yang sumir dan bertolak belakang dengan kepentingan umum, hampir terjadi dalam setiap kasus korupsi di Kalbar. Ditahun 2005, terdapat 5 kasus besar yang menarik perhatian publik seperti korupsi anggaran DPRD Kabupaten Pontianak, korupsi anggaran DPRD Kota Singkawang, BNI Cabang Untan, Kimia Farma, Puskolap, sementara di tahun 2006 terdapat 1 kasus yaitu korupsi Jalan Lingkar Sambas. Keseluruhan kasus - kasus korupsi yang terekspose secara luas dipublik kalbar itu berujung pada vonis bebas murni.

Kedelapan, uang pengganti perkara korupsi yang tidak jelas. Ditahun 2005, dalam hasil pemeriksaannya terhadap Kejaksaan Agung RI, BPK mengungkapkan bahwa Uang Pengganti Perkara Korupsi yang menjadi tanggungan JAMPIDSUS cq. ASPIDSUS Kejaksaan Tinggi Kalbar sebesar Rp 235.536.337.686, atau nomor 2 tertinggi se Indonesia setelah DKI Jakarta. Uang Pengganti Perkara Korupsi itu berasal dari 6 kasus korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di Kalimantan barat, yang masing-masing rincian masa penggantian uang ; kurang dari 1 tahun sebanyak 2 kasus dan 1-10 tahun sebanyak 4 kasus. Hingga saat ini, pihak Kejaksaan Tinggi Kalbar belum pernah menyampaikan kepada publik tentang siapa saja terpidana 9 kasus korupsi itu, atas kasus korupsi apa mereka jadi terpidana, bagaimana posisi pengembalian Uang Pengganti Perkara Korupsinya, bagaimana pengelolaan Uang Pengganti Perkara Korupsi yang telah dikembalikan oleh terpidana. Sementara berdasarkan hasil diskusi Sesjampidsus dengan Koalisi Nasional NGO Anti Korupsi akhir bulan November 2006 lalu, terungkap bahwa uang pengganti perkara sebesar Rp 235.536.337.686 sama sekali belum dieksekusi oleh Kejati Kalbar.

Kesembilan, Surat Dakwaan JPU yang Obscur Libel. Praktek Obscur Libel dalam Surat Dakwaan sepertinya jamak terjadi hampir diseluruh kasus korupsi yang diajukan oleh JPU di persidangan. Berdasarkan hasil Eksaminasi Publik terhadap Surat Dakwaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam beberapa kasus korupsi, seperti kasus korupsi anggaran DPRD Kabupaten Pontianak, kasus korupsi anggaran DPRD Kota Singkawang dan kasus korupsi Pengadaan Barang Diknas Kabupaten Sambas, mengungkapkan ketidakcermatan JPU dalam menerapkan pasal-pasal aturan perundang-undangan untuk mendakwa pelaku korupsi. Obscur Libelnya Surat Dakwaan yang dibuat JPU, setidaknya berdampak pada terbukanya peluang bagi Majelis Hakim yang mengadili perkara untuk membebaskan Terdakwa dengan menerima Surat Dakwaan yang Obscur Libel dan dijadikan bahan dasar membuat pertimbangan hukum yang sumir.

Hal yang menarik terjadi dalam Putusan Sela Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Putussibau dan Pontianak yang mengadili kasus korupsi PSDH/DR Kabupaten Kapuas Hulu dan kasus korupsi Pengadaan Barang Diknas Kota Pontianak. Kedua Putusan Sela Majelis Hakim itu membatalkan dan mengembalikan Surat Dakwaan JPU karena dinilai Obscur Libel. Tindakan Majelis Hakim tersebut sepatutnya dijadikan standar pengadilan dalam mengadili perkara korupsi, karena lebih baik membatalkan dan mengembalikan Surat Dakwaan yang Obscur Libel untuk di perbaiki JPU ketimbang menerimanya untuk kemudian dijadikan pertimbangan hukum yang membebaskan Terdakwa.

Kesepuluh, adanya dukungan finansial dari Pemerintah Daerah dalam bentuk bantuan operasional instansi vertikal dan bantuan Muspida kepada Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian. Hasil Pemeriksaan BPK-RI Perwakilan Kalbar Tahun Anggaran 2006 terhadap 7 Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2005 menemukan penyimpangan dana yang diberikan pada anggota Muspida dan instansi vertikal, termasuk di dalamnya Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan dan Kepala Kepolisian. 7 Laporan Keuangan Daerah yang dimaksud meliputi : Provinsi Kalbar, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kota Pontianak dan Kota Singkawang.

Modus penyimpangan dana itu terdiri dari; Pertama, bantuan dana Muspida bersumber dari APBD yang dijadikan penghasilan tambahan para anggota Muspida, dengan rincian Rp 2 juta – Rp 2,5 juta masing – masing setiap anggota Muspida setiap bulan. Hal ini terjadi pada APBD Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak. Sementara dalam APBD Kabupaten Kapuas Hulu, terungkap bantuan sebesar Rp 987 juta yang diyakini BPK Perwakilan Kalbar sebagai penghasilan tambahan bagi para anggota Muspida Kabupaten Kapuas Hulu.

Kedua, penggunaan dana untuk instansi vertikal dipakai untuk keperluan operasional tanpa laporan keuangan yang jelas, sehingga membuka peluang duplikasi anggaran APBN dan APBD. Modus ini terjadi pada APBD Provinsi Kalbar, Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau dan Kota Singkawang.

Secara sadar maupun tidak sadar, dana APBD untuk penghasilan tambahan anggota Muspida sudah masuk dalam wilayah tindak pidana korupsi. Jika berdasar pada pasal 12 Undang - Undang No 20 Tahun 2001, maka penghasilan tambahan dari APBD yang diterima oleh anggota Muspida setiap bulannya itu masuk kategori Gratifikasi lewat 30 hari yang tidak dilaporkan ke KPK

Kesebelas, buruknya koordinasi KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam percepatan pemberantasan korupsi di Daerah. KPK sebagai lembaga superbody dan leading institution dalam pemberantasan korupsi dengan kewenangan luar biasa, tidak efektif menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap lembaga Kejaksaan dan Kepolisian yang dimilikinya. Hal ini diperkuat dalam fenomena macetnya penanganan kasus korupsi melibatkan pejabat Daerah di Kalbar, KPK terlihat enggan untuk melakukan pengambilalihan penanganan kasus atau memfasilitasi agar kasus yang macet cepat di sidang. Jika beban penanganan perkara di KPK yang menumpuk dengan minimnya personil menjadi alasan KPK tidak melakukan pengambilalihan penanganan perkara korupsi yang macet, fasilitasi percepatan penanganan kasus korupsi dalam bentuk terobosan hukum oleh KPK kepada Kejaksaan dan Kepolisian di Kalbar bisa jadi merupakan tindakan yang tepat dan sangat mungkin untuk dilakukan.

Terobosan hukum yang dimaksud bisa berupa pemeriksaan terhadap pejabat Daerah seperti DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berdasarkan Undang- Undang Susduk Legislatif dan Undang- Undang Pemerintah Daerah harus mendapat ijin pemeriksaan dari Presiden atau Mendagri. Bukankah kewenangan luar biasa yang dimiliki KPK sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang- Undang KPK, menjadikan KPK sebagai satu – satunya Lembaga Penyidik di Indonesia yang berwenang memeriksa pejabat Daerah tanpa ijin dari Presiden dan Mendagri. Tindakan KPK itu bisa menjawab kendala penanganan kasus korupsi melibatkan pejabat Daerah di Kalbar yang selalu dikaitkan dengan persoalan ijin Presiden dan Mendagri.

Disisi lain, standar penanganan perkara korupsi secara terpadu yang seharusnya dimotori oleh KPK, terutama untuk kasus korupsi yang melibatkan pejabat Daerah, sama sekali belum terlihat di Kalbar. Sebut saja penerapan pasal 37 dan 38 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang memandatkan asas pembuktian terbalik di persidangan terhadap harta kekayaan terdakwa kasus korupsi yang dicurigai di peroleh dari hasil korupsi. Bukankah paska bubarnya KPKPN, KPK merupakan satu-satunya Lembaga yang berwenang untuk meminta dan memeriksa Harta Kekayaan Pejabat Negara/Daerah (LHKPN/LHKPD)

LHKPN/LHKPD yang sudah diserahkan oleh Pejabat Negara/Daerah kepada KPK, seharusnya langsung diverifikasi/lidik secara menyeluruh oleh KPK untuk mengidentifikasi kewajaran antara penambahan kekayaan dan penghasilan per tahun pejabat bersangkutan. Hasil verifikasi/lidik itu kemudian dijadikan petunjuk bagi penuntut umum dari Kejaksaan dan KPK dipersidangan untuk membuktikan unsur memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi. Berdasarkan verifikasi yang dilakukan Koalisi NGO Untuk Kalbar Bebas Korupsi terhadap LHKPN dari salah satu Pejabat Negara di Kalbar yang sedang disidik oleh Kepolisian, terungkap pengisian LHKPN yang dilakukan oleh pejabat bersangkutan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya, karena ada beberapa aset yang nilainya di mark down dan tidak dilaporkan dalam LHKPN. Kuat dugaan, tidak menyeluruhnya verifikasi/lidik dari KPK terhadap LHKPN Pejabat Negara bersangkutan juga terjadi dibanyak LHKPN/LHKPD yang diserahkan oleh Pejabat Negara/Daerah di Kalbar.

Belum jalannya proses verifikasi/lidik oleh KPK terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara/Daerah dari pejabat yang terlibat korupsi berkontribusi terhadap mandegnya penerapan pembuktian terbalik aset kekayaan pelaku korupsi di persidangan kasus korupsi di Kalbar. Hal ini semakin diperparah oleh sikap pasif dari Kejaksaan dan Kepolisian untuk mengakses informasi dan berkoordinasi dengan KPK tentang persoalan pembuktian terbalik terhadap aset kekayaan Pejabat Negara/Daerah yang telah didakwa melakukan korupsi. Walaupun telah ada Memorandum Of Understanding antara Kapolri, Jaksa Agung dengan Pimpinan KPK tentang percepatan pemberantasan korupsi, namun kerjasama itu belum terlihat banyak dalam penanganan kasus korupsi di Kalbar.

Selain di KPK, persoalan standar penanganan perkara korupsi juga terjadi ditubuh Kejaksaan dan Kepolisian. Walaupun sudah ada indikator penanganan perkara korupsi (Kesepakatan Ciloto) di Kejaksaan, namun dokumen indikator itu tidak lebih hanya sekedar dokumen “mati”. Dalam konteks Kalbar, penyelesaian tunggakan kasus korupsi ditahun 2005 sampai batas bulan Maret 2006 yang jumlahnya lebih dari 24 kasus, sama sekali tidak terlaksana. Deadline batas penyidikan perkara paling lama 6 bulan dan kejar target perkara dengan pola minimal 5-3-1 untuk Kejati, Kejari dan Cabang Kejari juga tak kunjung terpenuhi. Dari 24 kasus korupsi yang disidik Kejaksaan sejak tahun 2005, hanya 2 kasus yang sudah di sidang (PSDH/DR Kabupaten Kapuas Hulu dan Pengadaan Barang di Diknas Kota Pontianak, namun Surat Dakwaan 2 kasus itu dibatalkan Majelis Hakim). Sementara, selain Kejati yang menangani kasus korupsi lebih dari 5 buah, belum ada satupun Kejari di Kalbar menangani kasus lebih dari 3 buah, bahkan Cabang Kejari Entikong sama sekali tidak menangani perkara korupsi, padahal praktek korupsi dalam skala berbobot dan kecil – kecilan terindikasi marak terjadi di perbatasan Entikong dan Tebedu (Malaysia). Berangkat dari fakta ditas, sangat mengejutkan jika kemudian Kajati menyatakan prestasi Kejaksaan Kalbar berada pada rangking 4 dalam evaluasi kinerja Kejaksaan se Indonesia minggu lalu. Khusus Kepolisian, standar penanganan perkara yang lebih populer dengan sebutan “Buku Kuning”, masih dijadikan acuan oleh beberapa penyidik polisi dalam menangani perkara korupsi. Sementara indikator penanganan perkara korupsi sebagaimana yang sudah dibuat oleh Kejaksaan, belum memicu Kepolisian untuk berbuat hal yang sama.

Kesebelas, inkonsistensi dan permisifnya KPK dalam menerapkan Delik Gratifikasi. Delik Gratifikasi sebagaimana diatur dalam pasal 12B Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang berdefinisi suap dalam arti luas, sesungguhnya bisa dijadikan delik andalan dalam memberantas korupsi disaat maraknya modus korupsi hasil kompromi dari Legislatif, Eksekutif dan Swasta yang terjadi dari pusat sampai Daerah. Namun hal ini menjadi bias ketika KPK sebagai leading institution pemberantasan korupsi sekaligus satu – satunya Lembaga Penilai boleh tidaknya seorang penyelenggara Negara menerima Gratifikasi, baru akan melakukan penindakan terhadap penyelenggara Negara yang ditidak melaporkan penerimaan Gratifikasi mulai tahun 2007 (Harian Kompas,24/01/07). Hal ini bisa jadi menjelaskan sebab macetnya penanganan kasus korupsi berdelik Gratifikasi yang ditangani oleh KPK, sebut saja Dana Otonomi Daerah Kabupaten Sintang yang melibatkan anggota DPR RI Kalbar.

Kedua belas, minimnya akses masyarakat untuk memperoleh laporan kemajuan penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan, Kepolisian. Masalah ini mengakibatkan jumlah perkara korupsi yang belum, sedang dan sudah diselesaikan oleh Kejaksaan dan Kepolisian sulit dikonfirmasi kebenarannya. Ekspose publik terhadap penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh 2 lembaga penegak hukum pada setiap akhir tahun sama sekali tidak menyebutkan jumlah laporan masyarakat yang masuk serta kejelasan tindak lanjutnya. Disisi lain, ada kecenderungan aparat hukum terjebak pada usaha-usaha penanganan kasus korupsi yang terbatas pada penyelesaian pada aspek jumlah. Misalnya, jika dalam satu tahun pemenuhan penyelesaian kasus korupsi yang ditargetkan sudah tercapai maka dimensi kualitas kasus seringkali diabaikan. Kasusnya apa, nilai kerugian negara berapa dan siapa pelakunya bukan lagi menjadi prioritas utama.

2. Geliat Pemerintahan Dalam Pemberantasan Korupsi
Pada level Pemerintahan Daerah di Kalbar, pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh SBY sama sekali belum menjadi prioritas atau bahkan terkesan diacuhkan. Pada level Provinsi, baik pejabat eksekutif seperti Gubernur dan Wakil Gubernur maupun DPRD tutup mulut soal strategi pemberantasan korupsi yang jelas merupakan tugas pokok mereka. Hal yang sama juga terjadi ditingkat Kabupaten dan Kota. Sampai 31 Desember 2006, tidak satupun pernyataan para pejabat Daerah melalui media lokal yang menjelaskan bicara tentang strategi pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi di lembaga yang dipimpinnya. Hal ini semakin memperjelas ketika agenda pemberantasan korupsi yang dijabarkan ditingkat nasional dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) pada akhir tahun 2004, sampai sekarang belum ditindaklanjut oleh Pemerintah Daerah (Eksekutif dan DPRD) dalam bentuk Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi (RAD-PK).

Alih-alih melaksanakan program pemberantasan korupsi, para pejabat eksekutif dan DPRD di Kalbar malah dilaporkan ke penegak hukum oleh masyarakat. Sampai akhir tahun 2006, lebih dari 21 Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah baik yang sedang menjabat maupun yang sudah tidak menjabat tersangkut kasus korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian di Kalbar. Sementara lebih dari 400 anggota DPRD dan 4 orang anggota DPR RI dan 1 orang anggota DPD di Kalbar juga mengalami nasib yang sama.

Disisi lain, lembaga pengawas internal seperti Inspektorat Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota yang merupakan kepanjangan tangan dari Kepala Daerah dalam melakukan penindakan dan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi di lembaga yang dipimpinnya, seakan jalan ditempat. Hal ini diperkuat dengan belum ada temuan lembaga inspektorat itu yang berlanjut ke lembaga Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak seriusnya Pemerintahan Daerah di Kalbar terhadap pemberantasan korupsi juga ditunjukkan pada tidak adanya atau kurangnya kebijakan daerah yang mendukung pemberantasan korupsi. Dari 13 daerah Kalbar, hanya 2 daerah yang sudah membuat Peraturan Daerah tentang Transparansi ; Provinsi dan Kota Pontianak. Namun persoalan yang terjadi kemudian adalah Peraturan Daerah itu tidak dilaksanakan untuk memenuhi dahaga publik yang haus akan informasi dan dokumen yang selama ini ditutup. Selain itu, belum ada satupun daerah di Kalbar yang mencoba menginisiasi pembentukan lembaga pengaduan pelayanan publik seperti Komisi Ombudsman yang dilakukan oleh Pemerintah DIY. Sejatinya, pembentukan lembaga pengaduan pelayanan publik ini merupakan sebuah kewajiban Pemerintah Daerah pada publik di saat pelayanan publik sudah mencapai titik terendah kualitasnya di Kalbar.

Pelayanan Publik Yang Sakit
Dalam laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2001, Indonesia ditempatkan dalam kategori negara-negara yang belum mampu memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Indonesia menempati urutan ke 102 dari 162 negara yang disurvey. Disisi lain, Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan data BPS tahun 2003, ditempatkan pada urutan 23 dari 26 provinsi untuk indeks nutrisi penduduk. Artinya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat tergolong kategori belum mampu dalam menyediakan nutrisi penduduknya. Atas kegagalan dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang murah, cepat dan merata itu, sejak tahun 2002 Pemerintah Provinsi Kalbar menargetkan paling lambat tahun 2010 kebutuhan kesehatan masyarakat telah dinikmati secara merata.

Setidaknya ada 3 faktor dominan yang menciptakan iklim buruk pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Pertama; kurang seriusnya pemerintah dalam memperbaiki pelayanan kesehatan publik. Indikator utamanya adalah minimnya anggaran yang disediakan untuk sektor kesehatan. Rata-rata pertahun anggaran yang disediakan pemerintah untuk sektor kesehatan hanya 2,2 % dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara anjuran yang dikeluarkan oleh WHO minimal anggaran untuk sektor kesehatan adalah 5% dari PDB. Kondisi yang lebih buruk terungkap pada APBD Kalbar Tahun Anggaran 2002, untuk sektor kesehatan dianggarkan sebesar 0,03% dari Produk Regional Domestik Bruto (PRDB) Kalbar ditahun 2002.

Kedua; mahalnya ongkos pelayanan kesehatan yang dibayar masyarakat tidak diimbangi dengan kualitas institusi kesehatan dan pegawai institusi itu. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soedarso misalnya. Sebagai satu-satunya RSUD dibawah Pemprov Kalbar, pada tahun 2003-2004 saja, tercatat kurang lebih 12,9 milyar dari pendapatan RSUD Soedarso merupakan retribusi langsung yang dipungut dari masyarakat, sementara alokasi anggaran yang langsung dinikmati oleh masyarakat ditahun 2003-2004 sebesar 7,7 milyar atau 59% dari retribusi yang disetor masyarakat ke RSUD Soedarso .Berangkat dari hitung-hitungan itu, sisa retribusi 41% sebesar 5,2 milyar merupakan ongkos tambahan untuk belanja rutin pegawai RSUD Soedarso. Artinya, masyarakat yang berobat selama tahun 2003-2004 di RSUD Soedarso mensubsidi 5,2 milyar untuk keperluan belanja rutin pegawai institusi kesehatan milik Pemprov Kalbar itu. Subsidi dari masyarakat ini, diluar belanja rutin dari APBD dan subsidi oleh pemerintah pusat dalam bentuk proyek kesehatan seperti Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PPD PSE BK), Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM BK), Program Penanggulangan Penyakit Menular, Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS BK), Proyek Pembinaan Pelayanan Kesehatan (Yankes) , Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Sasaran subsidi pemerintah pusat yang semula bertujuan untuk pelayanan kesehatan keluarga miskin itu, dalam prakteknya lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi pengelola RSUD Soedarso dan pemborosan anggaran untuk institusi kesehatan itu.

Setali tiga uang dengan pelayanan publik dibidang kesehatan, penyediaan layanan pendidikan untuk publik juga bernasib sama. Minimnya anggaran pendidikan bersumber dari APBD menjadi persoalan klasik yang tak kunjung selesai. Sebagai catatan, belum ada satupun daerah di Kalbar mengganggarkan dana pendidikan sebesar 20% dari total APBD/tahun setelah dikurangi belanja gaji untuk guru sebagaimana dimandatkan oleh Amandemen Keempat UUD 1945 Sementara penggunaan dana pendidikan yang sudah ada juga terkesan tidak tepat sasaran dan sarat dengan penyimpangan. Belum inkraht kasus korupsi Pengadaan Barang di Diknas Kabupaten Sambas yang terakhir di vonis bebas Pengadilan Tinggi Pontianak dan belum tuntas penyelidikan Kejaksaan terhadap penyimpangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diseluruh Kalbar Tahun Anggaran 2005, seakan menjadi stimulan untuk kembali terjadinya penyalahgunaan dana BOS di Tahun 2006 dan 2007. Di awal tahun ini, publik Kalbar disuguhkan drama “ pemaksaan” penyaluran dana BOS dari Diknas ke Sekolah Swasta bergengsi di Kota Pontianak yang SPP muridnya lebih dari Rp 500 ribu setiap bulan.

Dilain hal, krisis air dan listrik tidak berkesudahan yang terjadi diseluruh daerah di Kalbar tidak melulu karena persoalan minimnya anggaran untuk pemenuhan 2 kebutuhan dasar publik tersebut. Persoalan korupsi bisa jadi merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap kondisi ini. Kegagalan suplai air bersih di Kabupaten Bengkayang lebih disebabkan kurang berfungsinya Proyek Riam Madi akibat dari praktek mark up dalam proyek itu. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Ketapang dalam Proyek Riam Berasap yang di danai dari pinjaman luar negeri. Di PDAM Kota Pontianak, Proyek Pengadaan Pipa Selat Panjang senilai $ 7,18 juta dari Bank Dunia sejak tahun 1995, bisa dikatakan gagal memenuhi tuntutan publik untuk pengadaan air bersih. Alih- alih menyuplai air bersih secara rutin ke pelanggannya, PDAM Kota Pontianak malah berpotensi menumpuk hutang daerah yang tidak tertagih. Sementara penyediaan listrik secara berkala di Kalbar juga masih menjadi mimpi, seiring dengan mengendapnya kasus korupsi Proyek Listrik Pedesaan PT PLN Cabang Kalbar di Kepolisian Daerah Kalbar. Satu catatan penting, kasus korupsi Proyek Listrik Pedesaan ini adalah kasus korupsi pertama di Kalbar yang mendapat supervisi dari KPK, hal ini dikuatkan dengan surat pimpinan KPK bernomor R.278/KPK/VII/2004 dan R 290/KPK/VII/2004 kepada Kapolri tentang permintaan perkembangan penanganan kasus korupsi Proyek Listrik Pedesaan PT PLN Cabang Kalbar (Harian Equator,18/10/04).

Sistem Penggajian Yang Tidak Adil
Berdasarkan analisa KONTAK Rakyat Borneo terhadap 4 APBD; Provinsi Kalbar, Kab Sambas, Kab Landak dan Kota Singkawang terdapat dana senilai Rp 7,8 miliar dipakai setiap tahun anggaran untuk penghasilan tambahan para pejabat Daerah. Dana dari APBD yang dianggarkan sejak tahun 2002 tersebut, dibagikan kepada pejabat Daerah mulai dari Sekda, Asisten, seluruh kepala dinas/badan/kantor dan camat. Pemberian dana dilakukan melalui berbagai item anggaran; Uang santunan, Insentif Kegiatan , Tunjangan jabatan struktural pengganti BBM/Voucher HP dan Emelumenten. Pencairannya diberikan secara lumpsum sebesar Rp 1,5 juta –Rp 3 juta perbulan setiap orangnya. Selain mendapat beberapa tunjangan diluar ketentuan tersebut, pejabat Daerah juga mengantongi uang dari honorarium kegiatan sebesar Rp 90 ribu – Rp 100 ribu/ bulan. Dalam setiap tahun anggaran, rata-rata jumlah kegiatan yang didanai APBD berkisar 100 – 200 jenis kegiatan. Yang paling diuntungkan dari honorarium kegiatan ini adalah Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekda dan Kepala Dinas/Badan/Kantor karena posisi mereka sebagai pengarah, pembina dan koordinator kegiatan. Sementara pegawai rendahan hanya menikmati uang kesejahteraan atau Tunjangan Hari Raya berkisar Rp 250 ribu – Rp 700 ribu per orang setiap tahun.

Aturan penghasilan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah jelas rinciannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang isinya sama sekali tidak mengatur soal hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam honorarium kegiatan yang bersumber dari APBD. Sementara Tambahan penghasilan bagi PNS diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang kemudian diubah menjadi PP Nomor 58 Tahun 2005 mensyaratkan beberapa hal. Diantaranya, pemberian tambahan penghasilan harus berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah atas persetujuan DPRD. Tambahan penghasilan itu dianggarkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai, sementara pertimbangan untuk penganggarannya harus berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, dan kelangkaan profesi PNS bersangkutan. Sederhananya, penghasilan tambahan adalah bentuk penghargaan (reward) Pemerintah Daerah kepada PNS tertentu setelah melalui pertimbangan objektif dengan persetujuan DPRD.

Mengacu pada PP Nomor 105 Tahun 2000 tersebut, maka penghasilan tambahan hanya dapat diberikan kepada PNS berprestasi dalam kerja, PNS yang bertugas di tempat terpencil atau sulit dijangkau, serta PNS yang mempunyai keahlian langka. Hal itupun harus memperhatikan kemampuan keuangan Daerah bersangkutan.

Dana APBD Parkir di Rekening Pejabat
Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Kalbar sampai 31 Desember 2006 mencatat sekitar Rp 51,372 miliar dana 6 APBD Kalbar parkir di rekening pejabat daerah. 6 APBD itu meliputi: Provinsi Kalbar, Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Bengkayang. Jumlah rekening yang dimaksud mencapai 16 buah tersebar pada 4 Bank, yaitu : Bank Kalbar, Bank Persepsi, BNI dan BRI . Dana senilai Rp 51,373 miliar itu berasal dari pos penerimaan dan pengeluaran APBD pada kas daerah yang di parkir pada rekening milik pejabat daerah.

Semua rekening Bank tersebut dibawah penguasaan 11 pejabat daerah mulai dari Bupati, mantan Kepala Dinas, mantan Bendaharawan Umum, mantan Kepala Biro, mantan Pimpinan Proyek dan Pemegang Kas Dinas

Modus pemarkiran dana APBD yang berpotensi untuk di korupsi dan ajang cuci uang (money loundring) itu terdiri dari; Pertama, Dana proyek APBD dilaporkan telah dibelanjakan 100% padahal masih terdapat sisa dana yang disimpan pada rekening Bank pengelola proyek, hal ini terjadi pada proyek Bantuan Tali Asih/Ganti Rugi untuk lahan pengungsi Sambas di Desa Tebang Kacang Kab Pontianak. Oleh pengelola proyek disebutkan bahwa dana sebesar Rp 3,5 miliar yang bersumber dari APBD Provinsi Kalbar Tahun Anggaran 2004 dan 2005 telah terealisasi 100% padahal masih terdapat dana sebesar Rp 1,1 miliar yang disimpan pada rekening atas nama pengelola proyek.

Kedua, Dana APBD pada rekening dibawah penguasaan pemegang kas tidak dimasukkan dalam pembukuan APBD . Praktek seperti ini terjadi pada APBD Kabupaten Bengkayang Tahun Anggaran 2005, terdapat 4 rekening yang dikelola/atas nama pemegang kas senilai Rp 2,05 miliar yang tidak dibukukan pada APBD.

Ketiga, Penarikan dana APBD dari kas daerah oleh pejabat yang berwenang untuk kepentingan pribadi, dana yang ditarik disimpan pada rekening pribadi bersangkutan. Modus seperti ini terjadi pada APBD Kab Ketapang Tahun Anggaran 2003 dan 2004 yang dilakukan oleh Bendaharawan Umum Daerah dengan menarik uang dari kas daerah sebesar Rp 3,4 miliar untuk kepentingan pribadi. Uang tersebut kemudian disimpan di rekening Bank Persepsi atas nama bersangkutan.

Keempat, Penerimaan dan pengeluaran uang pada kas daerah sebagian besar dilakukan melalui rekening atas nama Bupati/ Kepala Daerah tanpa persetujuan DPRD dan terdapat pendebitan (pengisian uang) rekening tidak ada keterangan asal usulnya. Modus seperti itu terjadi pada APBD Kab Landak Tahun Anggaran 2005, dimana penerimaan dan pengeluaran uang pada kas daerah dilakukan melalui 13 rekening giro pada Bank Kalbar, 4 diantaranya adalah rekening atas nama Bupati.

Analisa yang dilakukan BPK terhadap transaksi pendebitan pada salah satu rekening atas nama Bupati Landak mengungkap 3 kelompok transaksi yaitu transaksi pendebitan menggunakan SPM, pemindahbukuan dan pendebitan yang tidak ada keterangannya. Dalam kondisi demikian, penelusuran memperoleh bukti yang dapat dijadikan dasar untuk meyakini keabsahan transaksi pendebitan tanpa keterangan tidak mungkin dilakukan karena tidak terdapat catatan lain sebagai dasar pembanding.

Kelima, Setoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui rekening-rekening pribadi pejabat dan rekening-rekening yang dikelola oleh pejabat tertentu tanpa pertanggungjawaban yang jelas.

Dari 5 modus ini, modus terakhir hampir terjadi di semua daerah di Kalbar, meliputi semua pos PAD yang “basah”, mulai dari PSDH dan DR, PBB, Pajak Reklame, Pajak Galian C, sampai Retribusi Kesehatan disetor ke rekening atas nama pribadi pejabat tanpa pertanggungjawaban yang sah. Akibatnya dana-dana PAD itu berpotensi besar untuk di korupsi, contoh nyata seperti yang terjadi dalam dugaan korupsi PSDH/DR Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu , Dana Askes dan Gakin di RSUD Soedarso Provinsi Kalbar, dan Donasi Bandara Supadio Kabupaten Pontianak.




Selasa, 30 Januari 2007

KOALISI NGO UNTUK KALBAR BEBAS KORUPSI

KONTAK RAKYAT BORNEO
LEMBAGA GEMAWAN
KONSORSIUM ANTI ILLEGAL LOGGING
LPS AIR
EL PAGAR
KOMPAK

Pernyataan Pers KONTAK Rakyat Borneo Tentang Sebelum Dan Menjelang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007

Latar Belakang

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberian otonomi luas kepada daerah[1] diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pada era otonomi daerah, masing-masing daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun program otonomi daerah yang desain awalnya dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, ternyata dalam prakteknya jauh dari harapan banyak orang. Justru yang lebih mengemuka adalah terjadi perpindahan korupsi dari sentralisasi korupsi menjadi desentralisasi korupsi. Muncul raja-raja kecil ditingkat lokal sebagai imbas dari adanya otonomi daerah yang kebablasan.

Pasca otonomi daerah ada tiga isu utama penyimpangan kekuasaan yang hampir seragam di berbagai daerah, yaitu politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala daerah, pengesahan APBD yang tidak pro rakyat dan penerbitan peraturan-peraturan daerah untuk menarik pungutan dari rakyat di luar pajak untuk menggemukkan pendapatan asli daerah (PAD). Tidak ada pemilihan kepala daerah yang tidak ricuh, dan senantiasa menuai demonstrasi dari sebagian masyarakat yang tidak puas. Sejumlah masyarakat di daerah yang kecewa karena APBD dijadikan sasaran empuk korupsi sistematis kolaborasi anggota DPRD dan pejabat teras Pemda.[2]

Namun tidak semua korupsi yang dilakukan oleh elit politik (korupsi politik) berkaitan dengan kepentingan suatu fraksi politik atau birokrasi parpol. Freelance corruption yang melibatkan anggota dewan secara perorangan dan karenanya bersifat lintas partai, justru sangat menonjol di DPRD. Contoh yang paling ekstrim adalah dalam kasus pemilihan kepala daerah. Umumnya calon kepala daerah yang diusulkan oleh fraksi atau dua fraksi partai mayoritas di DPRD yang di atas kertas pasti menang, justru sebaliknya kalah. Kita tahu dalam tradisi perpolitikan nasional tidak ada independensi anggota dewan, selain suara fraksi.

Di sisi lain, dibukanya kran kebebasan politik dan realitas persaingan politik pada era demokrasi multipartai menyeret parpol lebih memprioritaskan pembangunan postur partainya ketimbang kualitas dan integritas. Dan parta-partai baru umumnya mengalami kekurangan sumber daya manusia untuk mengisi pengurus partai sesuai dengan pengaturan resmi Pemilu dan Parpol. Akibatnya banyak parpol baru asal comot dalam merekrut pengurus partai atau calon anggota dewan.

Robert Klitgaard, seorang pakar di bidang kajian korupsi memberikan rumus sederhana untuk mendefinisikan korupsi. Menurutnya korupsi terjadi karena adanya kekuasaan monopoli atas sumber daya yang sifatnya ekonomis disertai kewenangan untuk mengelolanya tanpa disertai pertanggungjawaban.[3] Dengan kata lain, ketiga unsur diatas merupakan satu kesatuan yang akan selalu menyimpan potensi atau peluang besar untuk terjadinya korupsi.

Konsepsi desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.[4]

Menurut TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.

Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.

Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi bahwa adanya lembaga kontrol seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.
Habis Gelap Terbitlah Pekat
Praktek korupsi setelah otonomi daerah yang kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor menggambarkan ironi desentralisasi sebagaimana telah digambarkan diatas. Dari catatan Komite Antikorupsi (KONTAK) Rakyat Borneo mulai Agustus 2004 sampai November 2006, terdapat 55 kasus korupsi di berbagai daerah di Kalbar dengan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar praktek korupsi yang terjadi pada era desentralisasi justru dilakukan oleh pimpinan dan anggota DPRD yang notabene secara fungsional merupakan lembaga kontrol yang seharusnya merepresentasikan kehendak publik. Maraknya korupsi di legislatif daerah juga menimbulkan istilah “korupsi berjamaah” merupakan sebuah term yang diartikan sebagai praktek korupsi yang melibatkan banyak anggota DPRD mengingat korupsi yang dilakukan merupakan buah kesepakatan banyak pihak. Setidaknya sudah ada 10 kasus korupsi DPRD yang diberitakan oleh media massa di Kalbar selama kurun waktu Agustus 2004 – November 2006.[5] Total perkiraan kerugian negara yang ditimbulkan dari 10 kasus tersebut adalah Rp 100,6 miliar.

Dari 10 kasus korupsi DPRD yang terungkap itu, paling tidak sebanyak 102 orang anggota DPRD diseluruh Kalbar telah diproses secara hukum, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan hingga yang telah diputus oleh pengadilan. Jumlah ini sangat mungkin akan bertambah karena masih banyak anggota dewan yang belum diperiksa dan masih ada kasus korupsi tersebut yang belum terungkap ditahun 2006. Melihat jumlah anggota DPRD yang diperiksa karena dugaan kasus korupsi sedemikian besarnya bisa jadi anggota DPRD merupakan pelaku korupsi yang paling banyak (korupsi masal atau berjamaah). Hal ini dipertegas dengan hasil survei Transparancy International Chapter Indonesia pada bulan Desember ini, tentang persepsi masyarakat terhadap lembaga korup di Indonesia, hasil survei menunjuk lembaga legislatif baik di tingkat nasional ataupun daerah sebagai lembaga paling korup di Indonesia.

Secara umum terdapat empat modus korupsi DPRD yang dapat kita temui di hampir semua kasus di Kalbar. Modus pertama adalah dengan menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan sebagai praktek mark-up karena Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD sebenarnya telah mengatur pelaksanaan penganggaran dewan, ini seperti yang terjadi pada item tunjangan perumahan DPRD Provinsi pada APBD Tahun Anggaran 2005 yang di mark up senilai Rp 2,2 miliar dari batas yang diatur dalam peraturan gubernur kalbar.

Modus kedua adalah menggandakan (redundant) item penerimaan anggota dewan melalui berbagai strategi. Strategi yang paling kerap muncul adalah dengan memasukkan item anggaran yang berbeda-beda untuk satu fungsi. Misalnya terdapat pos asuransi untuk kesehatan, tetapi di pos lain muncul item tunjangan kesehatan. Padahal kedua pos penerimaan tersebut adalah untuk satu fungsi, yakni anggaran bagi kesehatan anggota dewan. Strategi lain adalah dengan menitipkan pos penerimaan itu pada anggaran eksekutif (Pemda). Hal ini terjadi pada kasus DPRD Kab Pontianak dengan menitipkan dana untuk Yayasan Bestari pada pos bantuan Sekretariat Daerah.

Modus ketiga dengan cara mengada-adakan pos penerimaan anggaran (membuat pos baru) yang sebenarnya tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh DPRD Provinsi pada APBD Tahun Anggaran 2005 dengan mengadakan item Representasi Perjalanan Dinas sebesar Rp 677 juta.

Modus keempat adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Hal ini terlihat dalam korupsi dana otda di 4 kabupaten/kota di Kalbar.
Diantara keempat modus korupsi tersebut, modus keempat bisa dianggap yang paling konvensional dan umum terjadi di berbagai instansi pemerintah. Dalam pengertian bahwa tindakan korupsi dengan cara memanipulasi dokumen pertanggungjawaban penggunaan APBD hingga seolah-olah sebuah program telah dilaksanakan merupakan perbuatan yang nyata-nyata melanggar hukum, merugikan keuangan negara dan terdapat upaya untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, modus korupsi anggota dewan yang pertama hingga ketiga merupakan produk kesepakatan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan dua hal, yakni kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang tindih.

Korupsi model ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi dalam sebuah Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang legal. Padahal dari sisi materi peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepatutan atau kelaziman. Oleh karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan didasari atas kesepakatan dua pihak pengelola daerah, korupsi yang telah menyeret beratus-ratus anggota dewan itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak eksekutif , mulai dari tingkat Nasional sampai Daerah.

Yang paling terkini tentang payung hukum keuangan DPRD itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Dikeluarkan pada tanggal 14 November 2006, Peraturan Pemerintah ini telah menuai banyak protes dari publik.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD mengatur penambahan 2 item penghasilan baru bagi Pimpinan dan Anggota DPRD; Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan. Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 itu, maka penghasilan per bulan anggota DPRD menjadi 9 item anggaran, yang meliputi; Uang representasi, Uang paket, tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan jabatan, tunjangan kelengkapan dewan (panitia,komisi,dll), tunjangan perumahan, tunjangan khusus untuk pajak dan tunjangan komunikasi intensif. Sementara Pimpinan DPRD selain mendapat 9 jenis penghasilan sebagaimana yang didapat oleh Anggota, juga mendapat tunjangan Operasional.

Aksi protes dari publik terhadap muncul 2 item penghasilan baru DPRD sebagai dampak dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 mudah untuk dipahami. Bagaimana tidak, besarnya tunjangan komunikasi intensif yang diatur oleh Peraturan Pemerintah itu maksimal mencapai Rp 9 juta/ per orang untuk DPRD Provinsi dan Rp 8,1 juta untu DPRD Kab/kota setiap bulannya. Dari sisi kepatutan, jelas besaran tunjangan komunikasi intensif ini terhitung fantastis disaat masyarakat di daerah masih bergelut dengan krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Dari sisi kepatuhan hukum, besarnya tunjangan komunikasi intensif DPRD Provinsi/Kab/Kota hampir 300% lebih besar dari tunjangan komunikasi intensif DPR RI yang besarnya hanya Rp 3 juta/bulan. Didalam paragraf 5, Muqaddimah penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 sendiri menyatakan : Besaran tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi dan Dana Operasional Pimpinan DPRD Provinsi tidak lebih besar dari yang diterima oleh Pimpinan dan Anggota DPR RI.

Sementara tunjangan operasional untuk pimpinan yang maksimal besarnya; Ketua DPRD Provinsi Rp 18 juta/bulan, Ketua DPRD Kabupaten/Kota Rp 16,2 juta/bulan, Wakil Ketua DPRD Provinsi Rp 12 juta/bulan dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten/kota Rp 10,8 juta/bulan berpotensi untuk tumpang tindih dengan Biaya Penunjang Kegiatan DPRD yang mempunyai fungsi penganggaran sama yaitu mendukung kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD. Hal ini membuka peluang untuk terjadinya duplikasi penggunaan anggaran dengan satu laporan pertanggungjawaban keuangan.
Terkait tindakan DPRD yang akan menganggarkan Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan, yang dilakukan secara rapel untuk Tahun Anggaran 2006 dan serta memakai batas maksimal untuk Tahun Anggaran 2007, Kami memberikan beberapa catatan:

Pertama, walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 melalui pasal 14D menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah ini berlaku surut sejak 1 Januari 2006, sehingga pembayaran Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan dibayar sejak bulan Januari 2006. Namun hal ini bukan berarti DPRD bisa secara langsung menganggarkan 2 tunjangan itu di APBD Tahun Anggaran 2007 dengan sistem rapel dan memakai batas maksimal tunjangan. Jika melihat pasal 14C ayat (1) ditegaskan bahwa penetapan besarnya 2 tunjangan yang dimaksud mempertimbangkan beban tugas dan kemampuan daerah keuangan daerah dan penjelasan pasalnya yang menyatakan “Kemampuan keuangan daerah antara lain dikaitkan dengan ketersediaan keuangan daerah setelah seluruh pendapatan daerah dianggarkan untuk mendanai urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan kewajiban lainnya yang mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan seperti pembayaran cicilan dan pokok utang pinjaman daerah dan/atau pelunasan kewajiban pemerintah daerah kepada pihak ketiga”. Dapat disimpulkan bahwa penganggaran untuk 2 tunjangan komunikasi intensif dan operasional pimpinan hanya bisa dianggarkan oleh daerah yang APBDnya mengalami surplus anggaran. Sementara berdasarkan catatan KONTAK Rakyat Borneo, sejak tahun 2002 sampai 2006, belum ada satupun APBD di Kalbar yang mengalami surplus anggaran.

Kedua, rapel tunjangan komunikasi intensif dan operasional pimpinan yang dibebankan pada APBD Tahun Anggaran 2007, harus disertai dengan bukti-bukti pertanggungjawaban eksternal. Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 secara tersirat menerapkan sistem lumpsum dalam penetapan besarnya 2 tunjangan tersebut, namun dalam laporan pertanggungjawabannya harus bersifat at cost (ril) sebagaimana telah digariskan dalam Standar Akuntansi Keuangan Negara/Daerah. Yang menjadi pertanyaan kemudian; apakah benar para anggota dan pimpinan DPRD telah melakukan komunikasi intensif dengan konstituen sejak Januari 2006 – Desember 2006 dengan merogoh kocek mereka sendiri tanpa mengganggu anggaran DPRD? Berapa besar ongkos komunikasi mereka dengan konstituen setiap bulannya? Apakah benar Rp 9 juta? Bisa dibayangkan berapa banyak voucher HP ataupun ongkos komunikasi lainnya yang mereka keluarkan setiap bulannya. Apakah ada jaminan bahwa tunjangan komunikasi intensif itu digunakan benar-benar untuk kepentingan konstituen? apakah benar pimpinan DPRD telah melakukan tugas dan fungsinya sejak Januari 2006 - Desember 2006 dengan merogoh kocek mereka sendiri tanpa dibiayai dari Biaya Penunjang Kegiatan DPRD? Sebagai wakilnya rakyat, wajib hukum para anggota dan pimpinan DPRD itu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan menyampaikannya secara terbuka kepada publik, baru kemudian menetapkan tunjangan-tunjangan tersebut sesuai dengan belanja ril yang telah mereka keluarkan.

Melihat penjelasan ringkas diatas, jelas bahwa pembuatan dan pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 oleh Pemerintah Pusat terkesan terburu-buru sehingga menghasilkan produk hukum yang rawan korupsi dan bertentangan dengan kondisi masyarakat didaerah. Pada dataran politik, bisa jadi Peraturan Pemerintah ini merupakan ’’jebakan“ buat DPRD yang semula memang telah banyak melakukan korupsi anggaran. Jika memang DPRD sepakat dengan prediksi ’’jebakan’’ itu, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah dengan tidak mengindahkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 dengan tetap berpegang pada aturan lama; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 dan perubahan pertama atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2005 dalam menyusun anggaran keuangan dan melakukan gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Pemerintah 37 Tahun 2006 tersebut , toh juga itu tidak memberikan konsekuensi hukum apapun terhadap mereka, malah sangat mungkin mereka akan mendapat dukungan penuh dari konstituennya.

Dalam ranah pemberantasan korupsi, KONTAK Rakyat Borneo berkeyakinan bahwa pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 dalam pengganggaran keuangan DPRD jelas akan menghasilkan anggaran DPRD yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan negara. Oleh sebab itu pula, Kami mendesak agar aparatur penegak hukum memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 ini.

Bilamana telah terjadi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 seperti Tunjangan Komunikasi Insentif untuk Pimpinan dan Anggota, Tunjangan Operasional untuk Pimpinan, yang dilakukan secara rapel untuk Tahun Anggaran 2006 dan serta memakai batas maksimal untuk Tahun Anggaran 2007, sementara jelas APBD tidak mampu secara keuangan untuk menanggungnya (defisit anggaran), maka Kami akan melakukan laporan tindak pidana korupsi kepada penegak hukum terhadap DPRD.

Review Kasus PSDH/DR Kab. Ketapang

I. Latar belakang

Maraknya praktek penyimpangan dana PSDH-DR di Kalbar berawal dari dicabutnya SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dengan SK Menhut 084/Kpts-II/2000 tanggal 13 April 2000. SK Menhut 310/Kpts-II/1999 yang dikeluarkan tanggal 7 Mei 1999 sebelumnya mengatur tentang Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam bentuk HPH 100 Ha kepada masyarakat.
Berdasarkan SK Menhut tersebut, beberapa Kabupaten mengeluarkan SK Bupati untuk memberikan Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (IHPHH), dan sejak itu banyak IHPHH dikeluarkan oleh Bupati kepada kelompok-kelompok/koperasi masyarakat. Kebijakan Bupati ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para cukong dan pengusaha besar kehutanan yang menampung hasil kayu masyarakat dengan meminjamkan alat-lat berat (Excavator, Dozer, Loder) sehingga HPH 100 Ha yang harusnya diusahakan selama satu tahun tapi habis dalam waktu satu-dua bulan saja. Hal inilah yang mengakibatkan semakin lajunya kerusakan hutan (deforestry) yang akhirnya mengancam eksistensi sumber daya alam. Berangkat dari fakta lapangan itulah kemudian SK Menhut 310/Kpts-II/1999 dicabut pada tanggal 13 April 2000 dengan dikeluarkannya SK Menhut 084/Kpts-II/2000. Dengan dicabutnya SK Menhut tersebut, maka otomatis SK Bupati yang mengacu pada SK Menhut yang telah dicabut itu juga gugur dengan sendirinya. Akan tetapi faktanya dibeberapa kabupaten masih saja menerbitkan IHPHH dengan SK Bupati yang sebenarnya cacat hukum. Sejak saat itulah iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang harus dibayar perusahaan/kelompok tani/koperasi pemegang IHPHH kepada Kas Negara, diselewengkan dengan tidak menyetor ke Rekening Menhut, tapi disetor ke Rekening Pemda.

II. Audit BPK terhadap Dana PSDH/DR Ketapang

A.Hasil pemeriksaan BPK semester 1 Tahun Anggaran 2002 yang disampaikan kepada DPR RI tanggal 3 September 2002 mengungkapkan penyimpangan PSDH/DR Ketapang berawal sejak di tetapkan Perda No 26 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan dan Hasil Hutan yang mewajibkan setiap penerimaan kehutan disetor ke kas daerah. Sampai dengan bulan Maret 2002 realisasi penerimaan PSDH dan DR yang disetor ke kas daerah; PSDH sebesar Rp 136.750.000 dan DR $ 35.000. Menurut BPK, hal ini bertentangan dengan PP No 51 Tahun 1998 dan PP No 92 Tahun 1999 yang antara lain menetapkan bawha PSDH dan DR merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak(PNBP) yang berlaku dilingkungan Departemen dan harus disetor ke kas Negara. Selanjutnya Menhut dengan SK 271 dan 272/KPTS-IV/1993 tanggal 24 Mei 1993 jo. No 358 dan 359/KPTS-II/1996 tanggal 8 Juli 1996 antara lain menetapkan bahwa PSDH dan DR disetor kepada rekening Menteri Kehutanan. Akibat dari pelanggaran ini, Negara dirugikan sebesar Rp 136.750.000 dan $ 35.000

B.Pemeriksaan BPK juga menyoroti tentang pelaksanaan Perda No 26 Tahun 2000 yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Ketapang No 188.342/1587/HK tanggal 15 Agustus tahun 2001 tentang pembentukan Tim Monitoring yang diketuai oleh kepala dinas kehutanan kabupaten ketapang dengan anggota 9 instansi, diantaranya; Polres, Kejaksaan, Kodim, Adpel dan Dispenda. Tugas pokok tim ini adalah melakukan pengecekan legalitas kayu yang diangkut melalui Pelabuhan Sukabangun dan melakukan tindakan hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Pada pelaksanaan kerjanya, kegiatan Tim Monitoring ini hanya menjual dokumen angkutan kayu atau Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) kepada para pelaku penebang liar dan menagih PSDH dan DR. Dengan kata lain, kegiatan Tim Monitoring adalah melegalkan kayu illegal. Sampai dengan Maret 2002, Tim Monitoring telah melegalkan pengangkutan kayu illegal olahan sebanyak 22.860,92 M3 dan hasil hutan non kayu sebanyak 304,65 ton. Terungkap pula, tagihan PSDH dan DR Tim Monitoring yang disetor ke kas daerah sebesar Rp 6.292.850.000. Hal ini tidak sesuai dengan UU No 41 tahun 1999 yang menetapkan:
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan
Setiap orang dilarang mengangkut,menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan SKSHH
Semua hasil hutan baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dilelang untuk Negara
Selanjutnya hal ini juga bertentangan dengan SK Menhut No 271 dan 272/KPTS-IV/1993 tanggal 24 Mei 1993 jo. No 358 dan 359/KPTS-II/1996 tanggal 8 Juli 1996 antara lain menetapkan bahwa PSDH dan DR disetor kepada rekening Menteri Kehutanan. Akibat dari pelanggaran ini, Negara dirugikan sebesar Rp 6.292.850.000.

III. Analisa dana PSDH/DR Ketapang dalam APBD Tahun Anggaran 2002

A.Berdasarkan analisa anggaran KONTAK terhadap APBD tahun anggaran 2002, terungkap realisasi penerimaan PSDH dan DR ketapang sebesar Rp 12.845.457.920,69 yang dimasukkan dalam pos pendapatan pada bagian Lain-lain PAD yang sah dan tidak disetor ke kas negara. Hal ini jelas bertentangan dengan :
1.UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak terutama pasal 4
2.PP No 51/1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan terutama pasal (2) dan (4)
pasal 2;
pasal 4;
3. UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah terutama pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (5)
ayat 1;
ayat 5;

4. PP 104/2000 tentang Dana Perimbangan terutama pasal 8 dan 9 ayat (1) huruf b;
pasal 8;
pasal 9;

Selanjutnya hal ini juga bertentangan dengan SK Menhut No 271 dan 272/KPTS-IV/1993 tanggal 24 Mei 1993 jo. No 358 dan 359/KPTS-II/1996 tanggal 8 Juli 1996 antara lain menetapkan bahwa PSDH dan DR disetor kepada rekening Menteri Kehutanan.

B. Perda Kabupaten Ketapang No 26 Tahun 2000 tentang pengelolaan hutan dan hasil hutan terutama pasal 17 menyebutkan bahwa penerimaan dari pengelolaan hasil hutan ( PSDH,DR, PMDH, IHH,IPH dll) digunakan untuk membiayai kegiatan:
1. Rehabilitasi hutan
2. Penanggulangan kerusakan ekologis
3. Penelitian dan Pengkajian Teknologi pemanfaatan hasil hutan dan pengelolaan lingkungan hidup
4. Pelatihan penerapan Teknologi budidaya tanaman buah-buahan hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi
5. Pembinaan penataan pemukiman penduduk yang layak huni dan ramah lingkungan khusus bagi masyarakat desa di sekitar hutan
6. Pembinaan koperasi, usaha kecil, pendidikan dan sosial budaya masyarakat
7. Pembangunan daerah pada sektor fisik maupun sektor non fisik

Dalam APBD Kab .Ketapang Tahun Anggaran 2002, terungkap belanja DPRD dan Kepala Daerah/Wakil sebesar Rp 6.653.403.000 bersumber dari PAD yang 70,4% berasal dari penerimaan PSDH dan DR . Sementara itu, tidak satupun kegiatan yang disebutkan dalam pasal 17 Perda No 26/2000 dibiayai dari PAD.

 
© free template by Blogspot tutorial