Jumat, 18 Juli 2008

Eksekutif Kalbar Tambah Penghasilan

*KONTAK: Negara Berpotensi Dirugikan Rp 7,8 Miliar per tahun.

Pontianak- Gugatan masyarakat terhadap penghasilan pejabat di Kalbar bertambah panjang. Setelah DPRD mendapat sorotan, giliran penghasilan pejabat eksekutif dikritik tajam.. Berdasarkan analisa KONTAK Rakyat Borneo terhadap 4 APBD; Provinsi Kalbar, Kab Sambas, Kab Landak dan Kota Singkawang terdapat dana senilai Rp 7,8 miliar dipakai setiap tahun anggaran untuk penghasilan tambahan para pejabat daerah. Dana dari APBD yang dianggarkan sejak tahun 2002 tersebut, dibagikan kepada 26 pejabat daerah mulai dari Sekda, Asisten, seluruh kepala dinas/badan/kantor dan camat. Pemberian dana dilakukan melalui berbagai item anggaran; Uang santunan, Insentif, Tunjangan jabatan struktural pengganti BBM/Voucher Hp dan Emelumenten. Pencairannya diberikan secara lumpsum sebesar Rp 1,5 juta –Rp 3 juta perbulan setiap orangnya. Selain mendapat beberapa tunjangan diluar ketentuan tersebut, pejabat daerah juga mengantongi uang dari honorarium kegiatan sebesar Rp 90 ribu – Rp 100 ribu/ bulan. Dalam setiap tahun anggaran, rata-rata jumlah kegiatan yang didanai APBD berkisar 100 – 200 jenis kegiatan. Yang paling diuntungkan dari honorarium kegiatan ini adalah Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan Sekda, karena posisi mereka sebagai pengarah, pembina dan koordinator kegiatan. Jadi, hanya dari honorarium saja, para pejabat ini bisa mengantongi tambahan penghasilan lebih dari Rp 10 juta setiap bulannya.

“Penghasilan tambahan ini bertentangan dengan aturan yang ada. Kalau bersandar pada Surat Keputusan Kepala Daerah, maka keputusan tersebut rawan korupsi. Dana itu hanya diberikan kepada Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, pejabat Eselon II, III dan IV sementara pegawai rendahan hanya menikmati uang kesejahteraan atau Tunjangan Hari Raya berkisar Rp 250 ribu – Rp 700 ribu per orang setiap tahun,’” kata kata Koordinator Badan Pekerja Kontak Rakyat Borneo, Adriani kepada Pontianakpost, Rabu (17/01).

Ditanya soal aturan penghasilan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dia menjelaskan sudah jelas rinciannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang isinya sama sekali tidak mengatur soal hak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam honorarium kegiatan yang bersumber dari APBD. Sementara Tambahan penghasilan bagi PNS diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pasal 29 ayat 2 dalam PP itu membolehkan Pemerintah Daerah memberikan penghasilan tambahan bagi PNS berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah atas persetujuan DPRD. Tambahan penghasilan itu dianggarkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai, sementara pertimbangan untuk penganggarannya harus berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, dan kelangkaan profesi PNS bersangkutan. Sederhananya, penghasilan tambahan adalah bentuk penghargaan (reward) Pemerintah Daerah kepada PNS tertentu setelah melalui pertimbangan objektif dengan persetujuan DPRD.

“ Mengacu pada PP Nomor 105 Tahun 2000 tersebut, maka penghasilan tambahan hanya dapat diberikan kepada PNS berprestasi dalam kerja, PNS yang bertugas di tempat terpencil atau sulit dijangkau, serta PNS yang mempunyai keahlian langka. Hal itupun harus memperhatikan kemampuan keuangan daerah bersangkutan” Tambahnya.

Dia memberikan contoh penerapan pemberian penghasilan tambahan PNS yang sesuai aturan seperti; tambahan penghasilan bagi dokter spesialis karena kelangkaan keahlian yang dimiliki, tambahan penghasilan untuk guru yang mengajar di desa terpencil atau bagi petugas pajak yang berhasil memungut pajak jauh melampaui target.

Sengaja maupun tidak sengaja, pemberian tambahan penghasilan bagi pejabat tersebut masuk wilayah tindak pidana korupsi. Selain bertentangan dengan aturan yang ada, penghasilan tambahan untuk pejabat juga berpotensi merugikan negara dalam jumlah yang besar.

“ Sampai sekarang, setahu saya di seluruh daerah di Indonesia memang belum pernah ada mempersoalkan penambahan penghasilan pejabat ini sebagai sebuah tindakan yang berpotensi korupsi. Memang ketika pak Gamawan Fauzi jadi Bupati Solok pernah menghapus honorarium kegiatan bagi pejabat ini karena dinilai menciptakan kesenjangan gaji yang besar antara pejabat dan pegawai rendahan. Selain di Solok, tambahan penghasilan ini dianggap hal yang wajar oleh Pemerintahan Daerah di seluruh Indonesia. Padahal jelas ada aturan yang dilanggar sehingga Negara dirugikan. Bagaimana menjalankan perang terhadap korupsi dan pemborosan anggaran, jika masih saja soal penambahan penghasilan bagi pejabat mendapat toleransi yang tinggi dari pemerintah dan penegak hukum,”paparnya.

Dia juga menduga telah terjadi kesepakatan antara DPRD dan Eksekutif soal tambahan penghasilan pejabat daerah, terutama pada daerah yang DPRDnya memberikan persetujuan agar penambahan penghasilan itu dianggarkan dalam APBD.

“ Kesepakatan itu merupakan solusi menang sama menang (win win solution). Setiap orang yang terlibat mendapat bagian. DPRD menganggarkan tunjangan yang tidak ada aturannya, eksekutif dapat tambahan penghasilan. Berangkat dari audit BPK sejak tahun 2003 sampai 2006, daerah mana di Kalbar yang penghasilan DPRDnya tidak bermasalah? Tidak ada kan,” ungkapnya.

“Untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggungjawab bisa dirunut dari proses penganggarannya. Mulai dari pembuat kebijakan sampai pada pihak yang diuntungkan dari kebijakan tersebut,” paparnya.

Dia menjelaskan pembuat kebijakan bisa dijerat dengan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi karena menyalahgunakan wewenang yang ada untuk menguntungkan pejabat penerima penghasilan tambahan sehingga dapat merugikan negara. Sementara untuk semua pejabat yang telah menerima tambahan penghasilan bisa dijerat dengan pasal 2 dan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999.

0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial